Sumber foto: Google

Harga Sembako Naik, Bagaimana Strategi Rumah Tangga Bertahan di Tengah Tekanan Ekonomi?

Tanggal: 10 Mei 2025 08:31 wib.
Tampang.com | Harga kebutuhan pokok atau sembako di sejumlah wilayah Indonesia kembali merangkak naik sejak awal 2025. Dari beras, minyak goreng, hingga cabai merah, lonjakan harga ini tak hanya terjadi di pasar tradisional, tetapi juga di ritel modern. Inflasi yang merangkak naik ini menjadi tantangan nyata bagi rumah tangga kelas menengah ke bawah.

Inflasi Menggerus Daya Beli
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat inflasi Januari-Maret 2025 mencapai 3,8%, dengan kontribusi terbesar berasal dari kelompok makanan dan minuman. Ini berarti setiap keluarga harus mengeluarkan lebih banyak untuk kebutuhan yang sama, menggerus daya beli masyarakat secara signifikan.

“Inflasi pangan adalah jenis inflasi yang paling terasa langsung oleh masyarakat. Kenaikan harga bahan pokok akan membuat masyarakat menurunkan kualitas konsumsi atau mengurangi jumlah belanja,” jelas Rini, ekonom dari Lembaga Riset Ekonomi Sosial Indonesia.

Penyebab Kenaikan Harga
Kenaikan harga sembako dipicu oleh beberapa faktor: gangguan distribusi akibat cuaca ekstrem, kenaikan biaya logistik, serta fluktuasi harga global. Di beberapa wilayah, banjir yang merusak lahan pertanian membuat pasokan bahan pangan berkurang drastis.

Sementara itu, harga minyak goreng kembali melonjak menyusul naiknya harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional. Hal ini berdampak langsung pada rumah tangga yang mengandalkan bahan ini untuk kebutuhan sehari-hari.

Strategi Bertahan di Tengah Tekanan
Masyarakat merespons tekanan ekonomi ini dengan berbagai strategi bertahan. Salah satunya adalah beralih ke bahan makanan alternatif yang lebih murah, seperti mengganti konsumsi daging dengan protein nabati, atau membeli dalam jumlah grosir untuk menghemat pengeluaran.

“Saya mulai mengurangi belanja mingguan dan menggantinya dengan belanja bulanan dalam jumlah besar agar lebih hemat,” kata Dede, ibu rumah tangga di Bekasi.

Sebagian lainnya memilih menanam sayuran sendiri di halaman rumah atau bergabung dalam komunitas urban farming yang kini mulai marak di kota-kota besar. Selain hemat, solusi ini juga meningkatkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga.

Peran Pemerintah dan Tantangan Distribusi
Pemerintah sendiri telah melakukan berbagai upaya, mulai dari operasi pasar hingga subsidi harga untuk beberapa komoditas tertentu. Namun, dampaknya belum terasa merata, terutama di daerah-daerah terpencil.

“Kami berharap distribusi bantuan pangan bisa lebih merata dan cepat. Selama ini, bantuan seringkali lambat sampai dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan warga,” ujar Rina, ketua RT di daerah Cilacap.

Masalah lain muncul dari ketergantungan pasar pada jalur distribusi panjang yang memakan waktu dan biaya tinggi. Sistem logistik nasional yang belum sepenuhnya efisien menjadi hambatan dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok.

Apa yang Bisa Dilakukan ke Depan?
Untuk mengurangi beban ekonomi rumah tangga, dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Reformasi sistem distribusi pangan, penguatan cadangan pangan nasional, serta literasi ekonomi keluarga menjadi kunci agar masyarakat lebih siap menghadapi gejolak harga.

Rini menyarankan, “Masyarakat perlu lebih sadar tentang pentingnya pengelolaan anggaran rumah tangga dan pola konsumsi yang adaptif. Pemerintah juga perlu menciptakan sistem perlindungan sosial yang lebih responsif terhadap inflasi.”

Dengan kondisi ekonomi global yang masih tidak stabil, antisipasi terhadap inflasi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Kebijakan yang tepat dan perilaku konsumsi yang cerdas dapat membantu menjaga stabilitas ekonomi keluarga di masa penuh ketidakpastian ini.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved