Sumber foto: Google

Harga Sembako Masih Tinggi Pascalebaran, Mengapa Inflasi Tak Kunjung Turun?

Tanggal: 10 Mei 2025 11:49 wib.
Tampang.com | Setelah Lebaran 2025, banyak masyarakat Indonesia berharap harga kebutuhan pokok kembali normal. Namun yang terjadi justru sebaliknya: harga beras, cabai, daging ayam, hingga minyak goreng tetap tinggi di berbagai daerah. Kondisi ini menekan daya beli masyarakat, terutama kalangan bawah. Mengapa inflasi belum mereda meskipun momen konsumsi besar seperti Lebaran sudah berlalu?

Harga Tak Kunjung Turun, Pasar Rakyat Menjerit

Di Pasar Senen, Jakarta Pusat, harga beras medium masih bertahan di atas Rp14.000 per kilogram, sementara harga cabai merah mencapai Rp80.000 per kilogram. Kenaikan ini tak hanya terjadi di kota besar, tapi juga menyebar ke daerah-daerah.

"Setiap habis Lebaran, biasanya harga turun. Sekarang malah stabil tinggi, bikin dagangan sepi," kata Dewi, pedagang sayur di Pasar Ciputat.

Penyebab Utama: Distribusi dan Cuaca Ekstrem

Menurut ekonom pertanian dari IPB, Dr. Haris Prabowo, lonjakan harga pascalebaran kali ini dipicu oleh gangguan distribusi dan cuaca ekstrem yang berdampak pada hasil panen.

“Beberapa daerah mengalami gagal panen parsial akibat kekeringan yang berkepanjangan. Ini mempersempit pasokan dan membuat harga tak kunjung turun,” jelas Haris.

Kondisi ini diperparah oleh distribusi logistik yang belum sepenuhnya pulih akibat infrastruktur jalan rusak dan kurangnya armada transportasi di wilayah sentra produksi.

Inflasi Melebar, Masyarakat Kelas Menengah ke Bawah Tertekan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi April 2025 berada di angka 3,9% secara tahunan, dengan inflasi pangan sebagai penyumbang utama. Ini berdampak langsung pada konsumsi rumah tangga yang menjadi tulang punggung perekonomian.

“Yang paling terdampak tentu masyarakat berpenghasilan rendah. Mereka harus memilih antara belanja dapur atau kebutuhan anak sekolah,” kata Nia, aktivis ekonomi kerakyatan dari LSM Dompet Rakyat.

Kebijakan Intervensi Dinilai Masih Reaktif

Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional telah menggelontorkan bantuan pangan dan menggelar operasi pasar, namun dampaknya belum terasa secara luas.

“Intervensi harga harus dilakukan dari hulu ke hilir. Tidak cukup hanya bagi-bagi beras ketika harga sudah terlanjur naik,” ujar Haris.

Banyak pihak menilai bahwa kebijakan stabilisasi harga selama ini masih bersifat jangka pendek dan kurang menyentuh akar persoalan, yaitu struktur pasar yang tidak efisien dan ketergantungan pada distribusi terpusat.

Kemandirian Pangan Lokal Masih Lemah

Di sisi lain, ketahanan pangan lokal belum mampu menahan gejolak harga. Banyak daerah masih menggantungkan pasokan bahan pokok dari luar wilayah, sehingga ketika terjadi gangguan logistik, harga langsung melonjak.

“Selama kita belum memperkuat produksi dan distribusi lokal, harga pangan akan terus rentan terhadap fluktuasi,” kata Nia.

Apa yang Bisa Dilakukan ke Depan?

Pakar ekonomi menyarankan pemerintah fokus pada dua hal: memperbaiki logistik pangan nasional dan mendorong produksi lokal melalui insentif dan teknologi pertanian.

Selain itu, transparansi rantai distribusi dan penguatan lembaga pangan di daerah perlu dikawal secara serius agar tidak terjadi penimbunan dan permainan harga.

“Kita butuh strategi pangan yang tidak hanya responsif, tapi juga antisipatif,” tegas Haris.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved