Fenomena Lulusan Sarjana Jadi Sopir Hingga ART, Ada Apa?
Tanggal: 30 Jun 2025 10:19 wib.
Indonesia belum lepas dari permasalahan pelik tentang lapangan kerja. Fenomena ini semakin mencolok dengan semakin banyaknya lulusan sarjana, terutama dari perguruan tinggi, yang terpaksa mengambil pekerjaan di sektor informal seperti sopir, asisten rumah tangga (ART), atau pekerjaan buruh lainnya. Mengutip data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada Mei 2025 tingkat pengangguran terbuka di negara ini mencapai 4,76 persen. Angka ini menjadi pertanda bahwa meskipun banyaknya lulusan pendidikan tinggi, lapangan kerja yang sesuai dengan kualifikasi mereka masih menjadi masalah serius.
Salah satu alasan utama dari fenomena ini adalah kesenjangan antara jumlah lulusan perguruan tinggi dan ketersediaan lapangan kerja yang berkualitas. Setiap tahun, ribuan sarjana baru menghadiri wisuda, namun tidak semua dari mereka berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan gelar yang mereka miliki. Data BPS menunjukkan bahwa, meski pendidikan tinggi dianggap sebagai investasi masa depan, realita di lapangan seringkali berbeda.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh perkembangan teknologi dan otomatisasi yang mengancam eksistensi sejumlah pekerjaan tradisional. Banyak perusahaan yang mencari kandidat dengan keterampilan khusus yang sering kali tidak diajarkan di bangku kuliah. Hal ini menjadikan banyak lulusan merasa terjebak, karena mereka tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk bersaing di pasar kerja yang semakin ketat.
Sebagai contoh, profesi sopir dan ART biasanya diisi oleh tenaga kerja yang tidak memerlukan pendidikan formal yang tinggi. Ketika lulusan S1 beralih ke posisi tersebut, ini menunjukkan bahwa ada kecocokan rendah antara pendidikan yang diperoleh dan pekerjaan yang tersedia. Situasi ini menjadi semakin rumit ketika kita melihat bahwa banyak lulusan merasa terpaksa menerima pekerjaan yang tidak sesuai demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Faktor ekonomi juga memainkan peranan penting dalam fenomena ini. Dengan biaya hidup yang terus meningkat, banyak lulusan yang tidak memiliki pilihan lain selain menerima pekerjaan yang mungkin tidak cocok dengan pendidikan mereka. Upah yang ditawarkan dalam sektor informal sering kali jauh di bawah standar, tetapi hal tersebut terpaksanya diterima sebagai jalan keluar dari kondisi pengangguran yang menekan.
Di sisi lain, ada juga berbagai program pemerintah dan swasta yang berupaya untuk meningkatkan keterampilan dan daya saing lulusan perguruan tinggi. Meskipun demikian, implementasi program tersebut belum sepenuhnya efektif dalam menjawab masalah fundamental yang ada di sektor kerja. Lulusan yang ingin beralih ke sektor yang lebih formal, sering kali harus mengikuti pelatihan tambahan, yang memakan waktu dan biaya juga.
Di tengah berbagai tantangan ini, beberapa individu memilih untuk memanfaatkan peluang kewirausahaan sebagai alternatif. Namun, tidak semua lulusan memiliki modal atau pengetahuan untuk memulai usaha sendiri, sehingga proporsi yang terjebak dalam pekerjaan informal tetap tinggi.
Fakta baru yang juga disoroti masyarakat adalah bahwa lulusan S1 kini terpaksa bekerja sebagai buruh. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang relevansi pendidikan tinggi di Indonesia dan bagaimana sistem pendidikan kita dapat menjawab kebutuhan pasar kerja yang dinamis. Dengan tren ini, banyak yang berpendapat bahwa reformasi dalam pendidikan tinggi perlu dilakukan untuk lebih baik menyiapkan lulusan menghadapi tantangan dunia kerja modern.
Dengan latar belakang ini, menjadi jelas bahwa fenomena lulusan sarjana yang bekerja di sektor informal bukan hanya sebuah masalah individu, tetapi mencerminkan ketidaksesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja di Indonesia.