Ekspor Indonesia Meningkat Selama bulan Oktober 2017
Tanggal: 16 Nov 2017 23:02 wib.
Tampang.com - Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu (15/11) kemarin, merilis data perkembangan ekspor dan impor Indonesia selama Oktober 2017. Berdasarkan perhitungan BPS, nilai ekspor Indonesia selama Oktober 2017 mencapai US$ 15,09 miliar. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 3,62 persen dibanding ekspor September 2017. Jika dibanding dengan nilai ekspor Oktober 2016, jumlah peningkatan hingga 18,39 persen.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, ekspor Indonesia masih didominasi dari sektor non migas sebesar 90 persen. Selama Oktober, ekspor non migas mencapai US$ 13,67 miliar atau naik 4,22 persen dibanding September. Sedangkan dibanding ekspor non migas Oktober 2016, besar kenaikan 17 persen.
Sementara ekspor migas mengalami penurunan -1,86 persen. Penurunan ekspor ini disebabkan ekspor minyak mentah 4,19 persen. Lalu ekspor hasil minyak turun 48,08 turun. Meski sebaliknya, ekspor gas mengalami kenaikan 12,42 persen.
"Selama September - Oktober, beberapa komoditas non migas yang mengalami peningkatan dan penurunan harga. Misalnya yang naik batu bara, minyak kernel, dan tembaga. Sedangkan komuditas yang mengalami penuruan harga seperti karet, emas, perak," katanya di Kantor BPS Jalan Dokter Soetomo, Jakarta.
Suhariyanto mengungkapkan, biasanya tren ekspor mengalami peningkatan selama November hingga Desember. Hal ini memacu pada pola tahun sebelumnya. Ia berharap peningkatan ekspor kembali terjadi. Sehingga kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan IV akan lebih baik.
"Seperti triwulan III, saat pertumbuhan ekonomi 5,06 persen, ekspor bisa meningkat signifikan 17,27 persen. Kami berharap pada triwulan ini jumlahnya lebih besar dari itu," ujarnya.
Ditambahkan, struktur ekspor hingga kini tidak mengalami perubahan. Sebagian besar masih berasal dari non migas dari industri pengolahan. Jika dilihat lebih rinci lagi berdasarkan golongan barang 2 digit,
peningakatan ekspor non migas Oktober 2017 terbesar dari HS 26 yang terdiri bijih, kerak, dan abu logam. Kenaikan mencapai 34,5 persen atau US$ 120,1 juta.
"Komoditas ini dikirim ke negara tujuan yakni Tiongkok, Korea Selatan, dan India. Kemudian nilai terbesar kedua dari HS 27 golongan bahan bakar mineral sebesar US$ 91,4 juta atau 4,82 persen. Negara tujuan Tiongkok, India, dan Jepang," tuturnya.
Terakhir, posisi tiga besar berasal dari HS 64 alas kaki mengalami kenaikan nilai 20,27 persen. Dengan nilai US$ 73,1 juta dari negara tujuan ekspor yakni Amerika, Tiongkok, dan Beijing.
Sementara, ekspor non migas yang mengalami penurunan terbesar selama Oktober yaitu HS 71 perhiasan/ permata sebesar US$ 131,1 juta atau 22,74 persen. Negara tujuan ekspor komoditas ini seperti Singapura, Jepang, Hongkok.
Lalu penuruan kedua, HS 61 aksesoris pakaian dan barang rajutan sebesar US$ 32,3 juta atau turun 10 persen. Di mana negara tujuan ekspor yakni Amerika, Jepang, dan Jerman. Terakhir HS 85 mesin atau peralatan listrik sebesar US$ 24 juta atau 3,17 persen. Dengan negara tujuan Singapura, Jepang, Amerika.
Ia menambahkan, ekspor dari 10 golongan barang (HS 2 digit) memberikan kontribusi 38,22 persen terhadap total ekspor non migas. Sedangkaan dari sisi pertumbuhan, ekspor 10 barang ini naik 16,34 persen terhadap periode yang sama tahun 2016.
"Secara kumulatif Januari - Oktober 2017, nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 138,46 miliar atau meningkat 17,49 persen dibanding periode yg sama tahun 2016. Sedangkan ekspor non migas mencapai US$ 125,58 miliar atau meningkat 17,26 persen," sebutnya.
Selama Januari 2017- Oktober 2017, share terbesar berasal dari lemak dan minyak hewan nabati yang menyumbangkan 15,12 persen dari total ekspor non migas. Nilai ekspor yaitu US$ 18,99 miliar. Lalu, share terbesar kedua yakni bahan bakar mineral sebesar 13,64 persen.
"Total ekspor kumulatif menurut sektor, mayoritas dari industri pengolahan naik 14,32 persen. Kemudian pertanian, walau angka share kecil hanya 2,23 persen. Namun total ekspor tumbuh 14,5 persen dan tambang sebesar 36,42 persen," bebernya.
Pangsa Ekspor Nonmigas
Suhariyanto mengungkapkan, Tiongkok menjadi negara tujuan ekspor non migas terbesar selama Oktober 2017. Nilai ekspor sekitar US$ 2,34 miliar. Komoditas yang banyak dikirim ke Negeri Tirai Bambu yaitu golongan HS 27 bahan bakar mineral, HS 15 lemak dan minyak nabati, dan HS 72 besi dan baja.
Selanjutnya, Amerika Serikat menjadi negara tujuan ekspor terbesar kedua. Dengan nilai share 11,32 persen dan US$ 1,39 miliar. Terakhir Jepang sebesar 9,47 persen dengan nilai US$ 1,29 miliar. Kontribusi dari ketiga negara tesebut mencapai 36,74 persen. Sementara ekspor ke uni eropa (28 negara) sebesar US$1,43 miliar.
Ia mengungkapkan, ada beberapa negara yang nilai ekspornya memang belum besar. Namun memiliki pertumbuhan menjanjikan. Contoh Turki, selama Januari - Oktober, ekspor naik sebesar 10,15 persen sebagian besar dari komoditas karet.
"Kemudian mesir, ekspor meningkat 11,30 persen. Jenis barangnya kopi, teh, rempah. Terakhir, Brasil dengan nilai ekspor naik 13,54 persen asal komoditas karet," imbuhnya.
Sedangkan menurut provinsi asal barang, ekspor indonesia terbesar Januari - Okto berasal dari Jawa Barat dengan nilai US$ 24,15 miliar atau 17,44 persen. Di antaranya komuditas kendaraan yang tergabung dalam HS 87 dan HS 85 untuk mesin atau peralatan listrik.
"Kedua, Jawa Timur dengan nilai US$ 15,32 miliar atau 11,07 persen dari komuditas perhiasan dan CPO. Terakhir, Kaltim sebesar US$ 14,49 miliar atau 10,46 persen dari komoditas batu bara dan CPO. Total dari ketiganya yakni 38,9 persen," terangnya.
Sayangnya, kenaikan bukan hanya dialami nilai ekspor. Nilai impor Oktober 2017 juga ikut meningkat hinggaa US$ 14,19 miliar atau naik 11, 04 persen dibanding September 2017. Sementara kalau dibandingkan Oktober 2016, nilai impor meningkat 23,33 persen.
"Trend November 2017 – Desember 2017, biasanya impor meningkat sejalan dengan pola ekspor. Kenaikan ini didukung baik dari impor migas dan non migas," ujarnya.
BPS mencatat impor barang menurut penggunaan barang paling besar berasal dari bahan baku penolong yakni 75,89 persen dengan nilai US$ 10.770,3 juta. Bahan baku penolong ini dibutuhkan untuk berbagai industri. Kemudian, impor kedua terbesar yaitu bahan modal dengan 12,13 persen atau US$ 2.169 juta. Serta impor barang konsumsi sebesar 8,82 persen atau US$ 1.252 juta.
"Kalau impor barang konsumsi meningkat sebenarnya tidak begitu baik, berarti prilaku kita semakin konsumtif. Namun rasanya tidak perlu khwatir karena angka share barang konsumsi masih kecil, tapi tetap saja harus hati-hati. Kemarin sempat mengalami kenaikan karena momen lebaran," terangnya.
Kemudian, peningkatan impor non migas terbesar Oktober 2017, di antaranya besi dan baja HS 72 sebesar 182,9 juta (28,68 persen). Selanjutnya impor mesin pesawat mekanik HS 84 dan bahan kimia organik HS 29. Sementara penururan terbesar dari bahan bakar mineral HS 27 sebesar US$ 57 juta atau 52,10 persen. Lalu, ampas sisa industri makanan HS 23 dan kakao HS 18.
Ia menyebutkan, total impor kumulatif Januari - Oktober 2017 adalah US$ 126,86 miliiar atau naik 14,15 persen. Impor berasal dari Tiongkok 26,12 persen dengan komoditas sparepart notebook. Kemudian Jepang sebesar 11,55 persen dari komoditas sparepart mobil. Terakhir Thailand sebesar 7,33 persen dari sparepart motor vehicle sport.
Melihat perkembangan ekspor dan impor Oktober 2017, BPS mengukur neraca perdagangan mengalami surplus US$ 0,90 miliar. Sebab nilai ekspor lebih besar dari impor. Terutama surplus sektor non migas US$ 1,69 miliar. Namun terkoreksi oleh defisit neraca perdagangan sektor migas sebesar US$ 0,79 miliar.
Dari sisi neraca volume perdagangan, Indonesia mengalami surplus 35,56 juta ton pada Oktober 2017. Hal ini didorong oleh surplus neraca sektor non migas 36,24 ton. Namun, neraca volume perdagangan sektor migas mengalami defisit 0,68 juta ton.
"Dari petanya masih sama tahun ke tahun, ekspor dari industri pengolahan berpeluang besar untuk ditingkatkan. Kita masih bisa menghasilkan nilai tambah dari yang sudah ada. Artinya industri ini menjanjikan," tegasnya.
Menurutnya, masih banyak industri yang tergantung pada bahan penolong. Ia berharap, bahan baku penolong bisa diproduksi dalam negeri agar menekan angka impor. Sehingga, sebisa mungkin barang-barang tersebut cukup diproduksi dalam negeri saja.
"Sedangkan yang tidak bisa kita produksi baru impor. Tapi bukan cuma karena kita mampu produksi, perlu diperhatikan juga soal harga yang kompetitif. Misalnya menggitung apa harga produksi lebih rendah dari harga impor," tutupnya.