Dinamika Regulasi Gabah: Pembelajaran Penting bagi Kebijakan Pangan
Tanggal: 13 Mei 2025 22:14 wib.
Tampang.com | Dalam dunia kebijakan publik, mencabut atau mengganti regulasi sering kali dianggap mudah. Namun, menciptakan regulasi yang solid, berkelanjutan, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat adalah tantangan besar yang membutuhkan pemikiran matang dan ketelitian.
Tantangan dalam Membentuk Regulasi yang Berkelanjutan
Membangun regulasi bukanlah sekadar menyusun pasal dan ayat, tetapi mencerminkan niat dan kemampuan negara dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyat. Sebuah regulasi, terutama dalam sektor penting seperti pangan, harus mengatur dan melindungi kepentingan banyak pihak, mulai dari petani hingga konsumen. Keterlibatan berbagai pihak, termasuk petani, dalam perumusan kebijakan sangat diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang bisa merugikan masyarakat.
Kisruh Regulasi Harga Gabah: Sebuah Pembelajaran
Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional (Perkabadan) Nomor 2 Tahun 2025 yang diterbitkan pada awal Januari, kemudian direvisi pada Februari melalui Keputusan Kepala Bapanas Nomor 14 Tahun 2025, memicu kegaduhan di kalangan petani dan pemangku kepentingan lainnya. Regulasi yang semula bertujuan untuk menstabilkan harga gabah ternyata memunculkan tanda tanya besar. Mengapa peraturan penting terkait kesejahteraan petani dapat dicabut begitu cepat? Apa yang kurang dalam perumusan kebijakan tersebut?
Tanggap Cepat Pemerintah: Kebijakan “Satu Harga Gabah”
Keputusan pemerintah untuk mencabut ketentuan terkait kadar air dan kadar hampa gabah yang termuat dalam Perkabadan Nomor 2/2025 patut diapresiasi. Dengan kebijakan baru yang menetapkan harga gabah sebesar Rp6.500 per kilogram tanpa memedulikan kadar air atau kadar hampa, pemerintah memberikan kepastian harga bagi petani, khususnya pada saat panen raya. Ini menjadi langkah penting dalam melindungi petani dari potensi kerugian akibat syarat teknis yang sulit dipenuhi.
Pentingnya Keterlibatan Akar Rumput dalam Proses Penyusunan Regulasi
Namun, kisruh ini menyisakan pertanyaan besar mengenai proses perumusan regulasi yang kurang melibatkan partisipasi publik, terutama petani. Setiap kebijakan yang strategis harus melalui proses yang matang, dengan mempertimbangkan data dan masukan dari masyarakat. Jika perumusan kebijakan hanya didasarkan pada angka dan asumsi teknis tanpa memperhatikan kondisi riil di lapangan, maka kebijakan tersebut berisiko menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.
Proses Legislatif yang Lebih Transparan dan Partisipatif
Dalam hal ini, pemerintah perlu lebih terbuka dan melibatkan masyarakat dalam proses legislasi. Naskah akademik, simulasi kebijakan, dan konsultasi dengan pemangku kepentingan adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menghasilkan regulasi yang lebih baik. Seperti yang ditekankan oleh pemikir besar seperti Aristoteles dan Jean-Jacques Rousseau, hukum yang adil adalah hukum yang mengakomodasi kebutuhan masyarakat, bukan hanya kehendak segelintir elit teknokrasi.
Kebijakan yang Berkelanjutan: Dari Perlindungan hingga Peningkatan Kualitas Produksi
Kebijakan satu harga gabah yang kini diterapkan perlu dijaga konsistensinya agar tidak menjadi solusi sementara. Pemerintah perlu merencanakan langkah-langkah strategis jangka panjang untuk meningkatkan kualitas gabah melalui penyuluhan, bantuan alat pengering, serta akses terhadap pupuk dan benih unggul. Dengan peningkatan kualitas, harga gabah bisa lebih kompetitif dan menguntungkan petani.
Menjaga Keseimbangan antara Produsen dan Konsumen
Kebijakan pangan tidak hanya berkaitan dengan soal harga, tetapi juga kedaulatan pangan, stabilitas nasional, dan ketahanan sosial. Negara harus hadir untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan produsen dan konsumen, serta memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil berpihak pada keadilan sosial.
Refleksi dan Harapan untuk Regulasi Pangan yang Lebih Baik
Meskipun pemerintah telah mengoreksi kebijakan tersebut, ini adalah momen penting untuk melakukan refleksi terhadap kualitas regulasi pangan ke depan. Setiap kebijakan yang dibuat harus berpihak pada rakyat, memberikan perlindungan bagi mereka yang rentan, dan memperkuat kepercayaan petani terhadap negara. Proses legislasi yang transparan, berbasis bukti, dan partisipatif akan memperkuat sistem, bukan melemahkannya.