Sumber foto: Canva

Dampak Fenomena Shrinkflation pada Kebiasaan Belanja Konsumen

Tanggal: 21 Jul 2025 10:44 wib.
Pernahkah merasa ada yang aneh saat membeli produk favorit? Kemasannya terlihat sama, harganya pun tidak berubah, tapi isinya terasa lebih sedikit atau ukurannya menyusut. Jika iya, kemungkinan besar sudah menghadapi shrinkflation. Fenomena ini bukan sekadar kebetulan, melainkan strategi bisnis yang kian marak di tengah tekanan inflasi dan kenaikan biaya produksi. Shrinkflation adalah ketika produsen mengurangi ukuran, volume, atau jumlah produk sambil mempertahankan harga yang sama, atau bahkan menaikkannya sedikit. Dampaknya pada kebiasaan belanja konsumen bisa sangat halus, namun meresap dalam keputusan pembelian sehari-hari.

Memicu Kebingungan dan Rasa Curiga

Salah satu dampak langsung shrinkflation adalah memicu kebingungan dan rasa curiga pada diri konsumen. Banyak yang tidak langsung menyadari perubahan ukuran atau volume. Mereka hanya merasa "kok cepat habis ya?" atau "sepertinya jadi kecil". Ketika akhirnya menyadari, seringkali muncul perasaan tertipu atau dipermainkan oleh produsen. Konsumen mungkin mulai memeriksa label nutrisi atau berat bersih dengan lebih teliti, membandingkan produk dari merek yang berbeda, atau bahkan memotret dan membagikan temuan mereka di media sosial.

Perasaan curiga ini bisa mengikis loyalitas terhadap merek. Konsumen mungkin berpikir bahwa merek tersebut tidak jujur atau tidak menghargai pembeli. Ini bisa mendorong mereka untuk mencari alternatif, mencoba merek pesaing yang mungkin menawarkan nilai lebih, atau beralih ke produk private label supermarket yang dianggap lebih transparan dalam harga dan kuantitas. Pada akhirnya, kepercayaan yang luntur adalah kerugian besar bagi produsen.

Mengubah Persepsi Nilai dan Anggaran Belanja

Shrinkflation juga secara halus mengubah persepsi nilai dan cara konsumen mengelola anggaran belanja. Konsumen mungkin berpikir mereka membayar harga yang sama, tetapi sebenarnya mereka mendapatkan lebih sedikit untuk uang yang dikeluarkan. Ini setara dengan kenaikan harga tersembunyi. Misalnya, jika sekantong keripik beratnya berkurang dari 100 gram menjadi 85 gram dengan harga yang sama, artinya harga per gramnya sebenarnya sudah naik, meskipun angka di label harga tidak berubah.

Bagi rumah tangga dengan anggaran ketat, shrinkflation bisa sangat membebani. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa daya beli uang mereka telah menurun secara diam-diam. Akibatnya, mereka harus membeli lebih sering, atau membeli jumlah produk yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan yang sama, sehingga anggaran belanja bulanan jadi bengkak tanpa disadari. Ini mendorong konsumen untuk lebih cermat dalam membandingkan harga per unit (misalnya harga per 100 gram atau per liter) daripada hanya melihat harga total produk.

Dorongan untuk Berbelanja Cerdas dan Kritis

Fenomena shrinkflation secara tidak langsung mendorong konsumen untuk menjadi lebih cerdas dan kritis dalam berbelanja. Mereka kini tidak hanya melihat harga, tetapi juga mulai memperhatikan:


Berat Bersih atau Volume: Membandingkan angka berat bersih atau volume produk yang sama dari waktu ke waktu atau antar merek.
Harga per Satuan: Menghitung atau membandingkan harga per 100 gram, per mililiter, atau per lembar (untuk produk seperti tisu) untuk mendapatkan gambaran nilai sebenarnya.
Ukuran Kemasan Lama vs. Baru: Mencari ulasan atau berita tentang perubahan ukuran produk favorit.
Mencari Alternatif: Lebih terbuka untuk mencoba merek baru, produk private label, atau bahkan membeli produk dalam jumlah besar (bulk) jika dirasa lebih ekonomis.


Pergeseran ini membuat konsumen lebih sulit untuk "dikelabui" dan menuntut transparansi lebih dari produsen. Kebiasaan belanja menjadi lebih analitis dan berbasis data, bukan sekadar melihat merek atau harga nominal.

Tantangan bagi Produsen dan Pasar

Bagi produsen, shrinkflation memang bisa menjadi jalan keluar sementara untuk menghadapi kenaikan biaya bahan baku, energi, atau distribusi tanpa harus menaikkan harga secara eksplisit yang bisa membuat konsumen kaget. Namun, strategi ini punya risiko reputasi yang besar. Jika konsumen menyadari dan merasa tidak dihargai, mereka bisa beralih merek atau menyebarkan sentimen negatif yang cepat menyebar di era digital.

Pasar pun akan merespons. Merek-merek yang lebih transparan atau yang menawarkan value yang jelas bisa mendapatkan keuntungan dari situasi ini. Persaingan tidak lagi hanya soal harga atau kualitas, tetapi juga tentang kepercayaan dan integritas dalam memberikan nilai produk yang sebenarnya kepada konsumen. Fenomena ini memaksa produsen untuk berpikir lebih kreatif dan etis dalam mengelola biaya dan harga, karena konsumen modern semakin jeli dan berdaya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved