Sumber foto: Demonstrasi buruh KSPSI dan KSPI di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025)(Kompas.com/Ridho Danu Prasetyo )

Buruh Jakarta Melawan Gaji Tercekik Inflasi Biaya Hidup Membengkak

Tanggal: 31 Okt 2025 09:44 wib.
Jalanan Jakarta kembali 'panas', dan ini bukan hanya soal suhu cuaca. Asap knalpot bercampur dengan asap flare dan deru spanduk tuntutan. Para buruh dari berbagai serikat kembali turun ke jalan. Mereka mengepung titik-titik vital pemerintahan, dari Balai Kota hingga Istana Negara.

Pemandangan ini seolah menjadi ritual tahunan bagi kita. Namun, di baliknya, ada sengketa yang lebih dalam dari sekadar rutinitas. Tuntutan mereka selalu terdengar sama: kenaikan upah dan penolakan outsourcing.

Lalu, apa sebenarnya masalah yang menyelubungi? Apakah murni karena gaji yang dirasa kurang? Atau karena biaya hidup yang melambung tak terkejar? Jawabannya: Keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Mereka saling terkait dan menciptakan dilema pelik.

Momok Bernama 'Ketidakpastian'

Mari kita bedah dua 'musuh' utama yang selalu diteriakkan di mobil komando: Undang-Undang Cipta Kerja dan sistem outsourcing. Bagi serikat pekerja, UU Cipta Kerja (Omnibus Law) dianggap sebagai biang kerok. Aturan ini melegalkan "perbudakan modern" menurut pandangan mereka. Salah satu pasal paling sensitif adalah pelonggaran aturan outsourcing (alih daya) [1].

Dulu, outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan penunjang. Contohnya petugas kebersihan, keamanan, atau katering. Kini, aturan itu diperluas secara signifikan. Perusahaan bisa merekrut pekerja outsourcing bahkan untuk pekerjaan-pekerjaan inti produksi. Ini adalah perubahan fundamental dalam lanskap ketenagakerjaan kita [2].

Apa dampaknya bagi buruh? Ini adalah hilangnya kepastian kerja. Mereka yang berstatus outsourcing hidup dalam bayang-bayang kontrak jangka pendek. Sulit bagi mereka mendapatkan jenjang karier yang jelas. Tidak ada jaminan kontrak akan diperpanjang. Buruh juga rentan kehilangan hak-hak normatif, seperti pesangon [3].

Ini adalah akar dari masalah "kemakmuran" yang dituntut. Sulit sejahtera jika status pekerjaan saja tidak pasti. Ketidakpastian ini menciptakan kecemasan finansial dan psikologis. Buruh merasa masa depan mereka digantung oleh keputusan perusahaan [4].

Gaji Naik, Tapi Daya Beli 'Terkunci'

Tuntutan kedua yang tak kalah lantang adalah kenaikan Upah Minimum (UMP/UMK). Pemerintah memiliki formula penetapan upah. Saat ini, formula tersebut mengacu pada PP No. 51 Tahun 2023. Formula ini berbasis pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Di sinilah letak sengketanya yang krusial. Bagi pemerintah dan pengusaha, formula ini memberikan kepastian hukum. Ini juga menjaga iklim investasi tetap kondusif. Namun, bagi buruh, formula itu adalah "formula pemiskinan". Angka kenaikan upah dirasa tidak relevan dengan realita lapangan [5].

Masalahnya ada di sini, dan ini menjawab pertanyaan inti: gaji kurang atau bahan pokok mahal? Bagi buruh, masalahnya adalah laju kenaikan gaji. Laju ini kalah cepat dengan laju kenaikan biaya hidup riil. Kesenjangan ini semakin melebar setiap tahunnya.

Kenaikan upah yang dihitung berdasarkan inflasi "resmi" seringkali tidak terasa di kantong. Inflasi resmi versi Badan Pusat Statistik (BPS) mungkin tercatat di angka 3-4%. Tetapi, harga kebutuhan pokok yang mereka hadapi di pasar bisa meroket 10-20% [6]. Ini adalah perbedaan signifikan.

Seorang buruh di Jakarta mungkin menerima kenaikan upah Rp 200.000. Namun, di saat yang sama, beban pengeluaran mereka meningkat drastis. Harga beras premium terus naik. Biaya sewa kontrakan petakan di area industri tidak pernah turun. Tarif transportasi umum dan ojek online terus menyesuaikan harga [7].

Akibatnya, kenaikan upah itu "hilang" bahkan sebelum diterima. Gaji mereka seolah 'dikunci' oleh formula. Sementara pengeluaran riil terus melonjak liar. Ini menciptakan jurang antara pendapatan dan kebutuhan dasar.

Simpul Masalah: Bukan Cuma Nominal, Tapi 'Kemakmuran'

Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di jalanan Jakarta? Ini bukan sekadar demo minta kenaikan nominal gaji semata. Ini adalah protes terhadap sistem yang dianggap gagal memberikan jaring pengaman sosial. Buruh merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tak berujung.

Gaji mereka diatur oleh formula yang dianggap terlalu kaku. Formula ini tidak mencerminkan biaya hidup nyata di lapangan. Di saat yang sama, status pekerjaan mereka terancam oleh sistem outsourcing. Sistem ini membuat masa depan mereka tidak pasti dan penuh kekhawatiran [8].

Jeritan di jalanan adalah akumulasi dari dua ketakutan itu. Ini adalah pertarungan antara statistik inflasi di atas kertas melawan realitas harga cabai dan beras di pasar. Ini juga pertarungan antara kepastian investasi yang diinginkan pengusaha melawan kepastian kerja yang didambakan buruh.

Kedua masalah ini saling melengkapi. Kenaikan gaji yang kecil tidak berarti jika status pekerjaan tidak aman. Sebaliknya, kepastian kerja menjadi hampa jika gaji tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Maka, tuntutan buruh adalah untuk kehidupan yang lebih makmur, bukan sekadar bertahan hidup. Ini adalah panggilan untuk keadilan dan kepastian ekonomi [9].


Sumber Terkait: [1] Penolakan UU Cipta Kerja, Poin Outsourcing, Aturan Pesangon Buruh [2] Aksi Buruh Jakarta, Penetapan UMP 2026, Tolak PP 51 [3] Cabut Omnibus Law, Naikkan UMP, Hapus Outsourcing [4] Penolakan UU Cipta Kerja, Poin Outsourcing, Aturan Pesangon Buruh [5] Gaji UMP Jakarta, Biaya Hidup Riil, Upah Buruh Kurang [6] Kenaikan Harga Pangan, Daya Beli Tergerus, Ekonomi Masyarakat Bawah [7] Gaji UMP Jakarta, Biaya Hidup Riil, Upah Buruh Kurang [8] Cabut Omnibus Law, Naikkan UMP, Hapus Outsourcing [9] Gaji UMP Jakarta, Biaya Hidup Riil, Upah Buruh Kurang
Copyright © Tampang.com
All rights reserved