Bursa Saham China dan India Kian Menarik, Investasi Asing Dibalik Angka
Tanggal: 8 Jul 2024 20:01 wib.
Pasar saham di China dan India semakin menarik minat para investor asing. Hal ini mengikuti tren masuknya modal ke dalam pasar yang sedang berkembang di kedua negara tersebut.
Pada tahun 2024, bursa saham NSE di India mencatat lonjakan sebesar 12% mencapai level 24.323,85 pada perdagangan Jumat (5/7/2024). Sementara itu, bursa saham China, Shanghai Stock Exchange, mengalami sedikit penurunan sebesar 0,84% menjadi level 2.949,93 pada perdagangan yang sama.
Berdasarkan survei informal, sekitar sepertiga dari 19 ahli strategi dan manajer dana yang berbasis di Asia menyatakan bahwa mereka memprediksi saham China akan mengungguli saham-saham lain dalam enam bulan ke depan. Jumlah yang sama juga memilih India sebagai taruhan utama mereka, diikuti oleh Jepang di urutan ketiga.
Keputusan Federal Reserve (The Fed) dalam memangkas suku bunga juga turut mempengaruhi kinerja kedua pasar saham tersebut. Para responden survei memilih saham China karena valuasinya yang rendah serta perubahan kebijakan yang diharapkan. Sementara sebagian lain lebih memilih saham India karena optimisme pasca-pemilu dan kekebalannya terhadap ketegangan geopolitik.
Penguatan saham pasar emerging markets (EM) di Asia terjadi pada kuartal terakhir tahun di mana MSCI EM Asia Index mengungguli pengukur MSCI Asia paling banyak sejak 2009. Selain itu, EM Asia juga menjadi kawasan yang paling banyak dibeli pada bulan Juni, menurut meja pialang utama Goldman Sachs Inc., sementara ekuitas global dijual bersih dengan laju tercepat dalam dua tahun.
Di India, nilai pasar saham negara tersebut melampaui US$5 triliun untuk pertama kalinya pada bulan Juni karena Modi berkomitmen untuk melanjutkan kebijakan yang menarik kembali investor asing. Survei terpisah menunjukkan bahwa reli ekuitas India berpotensi untuk berakselerasi hingga akhir tahun seiring dengan keyakinan investor akan pertumbuhan laba perusahaan serta anggaran federal yang akan datang.
Sebagian pihak juga memprediksi bahwa ekuitas India akan memimpin pada paruh kedua tahun ini karena diskon valuasi dan perluasan pertumbuhan global. Menurut Joseph Little, kepala strategi global di HSBC Asset Management, kondisi tersebut menciptakan peluang bagi emerging markets, khususnya di Asia.
Sementara itu, kepala solusi investasi multi-aset untuk Asia Tenggara dari abrdn, Ray Sharma-Ong, lebih menyukai ekuitas India karena banyak katalis yang belum diperhitungkan, termasuk anggaran pemerintah serta ketahanan India terhadap ketegangan AS-China dan efek pengaruh dari pemilihan presiden AS.
Di sisi lain, saham China mengalami pasang surut setelah reli kuat pada awal tahun, namun survei umum maupun survei terpisah menemukan optimisme dari analis dan pengelola uang terhadap pasar saham terbesar kedua di dunia. HSBC Holdings pun optimis terhadap pasar saham China, memperkirakan bahwa sentimen negatif secara perlahan akan berubah.
Adanya ketegangan geopolitik dari pemilihan umum AS menjadi risiko utama bagi pasar Asia. Kebijakan yang lebih ketat diharapkan akan diberlakukan saat Presiden AS Joe Biden dan mantan Presiden Donald Trump berjuang untuk menunjukkan sikap mereka terhadap China.
Lebih dari separuh responden memperkirakan bahwa ekuitas Asia kemungkinan akan mengungguli ekuitas AS hingga akhir tahun 2024 dengan alasan pemangkasan suku bunga Fed dan valuasi yang murah. Namun, sebagian besar dari mereka hanya melihat kenaikan terbatas hingga 10% atau kurang.
Pergerakan bursa saham Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), cenderung melemah. Sepanjang tahun 2024, IHSG tercatat turun 0,27% menjadi level 7.253,372 pada perdagangan Jumat (5/7/2024).
Derasnya capital outflow di pasar keuangan Indonesia menjadi kekhawatiran banyak pihak. Investor asing tercatat melakukan penjualan bersih senilai Rp36,46 triliun di pasar SBN, penjualan bersih Rp9,78 triliun di pasar saham, dan pembelian bersih Rp123,21 triliun di SRBI hingga akhir Juni 2024. Kondisi ini ikut membebani kinerja IHSG.
Sikap hawkish The Fed yang menyebabkan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu faktor yang mendorong penurunan IHSG dan aksi jual asing. Selain itu, potensi defisit fiskal yang melebar disertai dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang semakin mendekati 50% juga menjadi perhatian.
Belum lama ini, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Anggota Bidang Keuangan Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Thomas Djiwandono mengadakan konferensi pers terkait Kondisi Fundamental Ekonomi Terkini dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Mereka menegaskan bahwa pemerintah akan menjalankan APBN 2025 secara prudent dengan menetapkan ambang defisit maksimal 3% PDB serta rasio utang terhadap PDB sebesar 60%.
Dalam konferensi tersebut, pemerintah mulai mencari langkah yang tepat untuk memperbaiki kondisi pasar keuangan domestik. Hal ini bertujuan agar pasar saham Indonesia dapat kembali menarik minat investor, baik domestik maupun asing, sehingga dapat memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dari dua bursa saham yang menjadi primadona ini, terlihat bahwa investor asing mulai melirik lebih dalam untuk mendapatkan keuntungan lebih besar. Perkembangan keduanya patut diikuti dengan ketat.