BPJS Kelas III Idealnya 36 Ribu
Tanggal: 3 Nov 2017 04:45 wib.
Tampang.com- Tarif Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan khususnya untuk peserta kelas 3, dinilai belum ideal. Wajar jika BPJS Kesehatan, tahun ini mengalami defisit hingga Rp9 triliun. Lantaran premi yang diperoleh tidak sebanding dengan klaim yang dikucurkan.
“Hal ini sebenarnya sudah sering dibahas. Kenapa terjadi mismatch (defisit), karena memang dari awal beroperasinya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Kartu Indonesia Sehat (KIS), iuran yang ditetapkan tidak sesuai dengan hasil perhitungan aktuaris,” ujar Kepala Divre III BPJS Kesehatan Wilayah Sumsel, Bengkulu dan Bangka Belitung, Erna Wijaya Kusuma
Padahal, kata dia, manfaat kepada peserta yang diberikan sangat luas. Namun terkait potensi penyesuaian tarif, Erna menyebut hal tersebut masih dibahas di tingkat pusat. “Nanti kalau sudah ada info akan kita sampaikan,” ujarnya.
Asisten Deputi Bidang SDM, Umum, dan Komunikasi Publik Kedeputian BPJS Kesehatan Wilayah Sumsel, Kep. Babel, dan Bengkulu, Herman, menambahkan, hasil perhitungan aktuaris independen tahun 2014, idealnya iuran BPJS kelas III sebesar Rp36 ribu. “Tapi rasanya kemampuan masyarakat terbatas. Makanya, iuran yang berlaku minimal Rp25.500."
Di Provinsi Sumsel, dari 8,1 juta penduduk, peserta PBI (penerima bantuan iuran) APBN 2,6 juta peserta dan PBI APBD (integrasi Jamkesda) 72.951 peserta. Secara nasional jumlah masyarakat tidak mampu ditanggung APBN ada 92 juta, dengan 400 ribu bayi PBI yang lahir 2017. Untuk total peserta BPJS Kesehatan di Sumsel sendiri termasuk PBI, PPU (pekerja penerima upah), pekerja bukan penerima upah, dan bukan pekerja mencapai 4,5 juta atau 55,5 persen penduduk menjadi peserta JKN-KIS.
Herman tak menampik persoalan defisit. “Tapi defisit itu dihitung terpusat, tidak bisa per wilayah karena sistemnya gotong royong dari yang sehat ke yang sakit. Dan mampu ke yang tidak mampu secara nasional,” imbuhnya.
Dia tak memungkiri, cara menanggulangi defisit dengan menyeimbangkan besaran iuran dan benefit yang diberikan. Namun itu kewenangan pemerintah untuk perubahannya. “Saat ini kami hanya menjalani kebijakan pemerintah dengan prinsip asuransi sosial dimana iurannya Rp25.500-Rp80.000 per bulan,” ujarnya. Benefit itu tidak terbatas, seperti operasi jantung bisa habiskan Rp250 juta per kasus.
Kalaupun tidak penyesuaian, kata dia, caranya bisa subsidi dari cukai rokok. Itu mengingat rokok menjadi risiko terbesar penyebab penyakit katastropik.
Selain itu, pelibatan Pemda dalam mengelola layanan kesehatan juga bisa mengatasi defisit. Integrasi Jamkesda ke JKN-KIS salah satu upaya yang sudah dilakukan. Jadi warga miskin yang tidak tercover PBI APBN, bisa ditanggung oleh APBD kabupaten/kota. “Kalau di Sumsel sekarang ada 10 Pemda yang sudah integrasikan Jamkesda ke JKN-KIS dengan 72.951 peserta PBI ABPD,” ujarnya. Lalu tujuh pemda lain belum integrasi, tapi direncanakan semuanya akan bergabung. Sebab kewajiban integrasi ini ditenggat hingga 1 Januari 2019.
Demikian juga diungkap Kepala BPJS Kesehatan Cabang Palembang, Diah Sofiawati. “Untuk data rasio maupun klaim semuanya terpusat,” imbuhnya. Makanya dia tak bisa memaparkan apakah ada defisit atau tidak di wilayahnya. Hanya memang, sebut Diah, untuk data peserta yang menunggak di wilayahnya saat ini mencapai 210 ribu peserta dari total 2,35 juta peserta. Untuk nilai tunggakan mencapai Rp66 miliar.
“Peserta yang menunggak dikenai sanksi non-aktif," ujarnya. Jika menunggak lebih dari 1 bulan sejak tanggal 10, penjaminan peserta diberhentikan sementara. Dalam waktu 45 hari, sejak status kepesertaan aktif kembali, peserta wajib membayar denda sebesar 2,5 persen dari biaya pelayanan kesehatan setiap bulan tertunggak. Diah juga menyebut, sejauh ini klaim ke RS-RS atau faskes (fasilitas kesehatan) ke tingkat 1 tanpa masalah dan tidak ada tunggakan.
Terpisah, Dokter Spesialis Kandungan RSMH Palembang, dr Yusuf Effendi SpOG, mengatakan, selama ini untuk pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan lancar tanpa masalah. Meski memang, pelayanan masih perlu dibenahi. “Kalau BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran, berarti rugi terus,” imbuhnya. Nah, jika mau ada rencana kenaikan tidak bisa sepihak. Masih perlu dirapatkan dengan DPR.
dr Ismail Bastomi SpOT FICS CCD menambahkan, rencana kenaikan tarif tergantung pemerintah. Jika pun masih harus dilakukan perlu diimbangi dengan kualitas SDM dan fasilitas perlengkapan yang memadai baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Jika RS tipe B sudah baik, tidak akan terjadi penumpukan pasien di RS tipe A. “Karena fasilitas yang diberikan pemerintah tidak merata, penumpukan sering terjadi,” sebutnya.
Anirai (30), peserta BPJS Kesehatan keberatan jika tarif BPJS Kesehatan mau dinaikkan. Apalagi pemegang kartu kelas 3 ini mengaku pelayanan kesehatan yang diterimanya beberapa kali kurang mengenakkan. “Pernah anak saya demam tiga kali sebulan, saya bawa ke dokter praktik pakai kartu JKN-KIS tapi dokternya malah marah,” ujarnya. Padahal, kata dia, peserta kelas 3 kan warga kurang mampu, selain itu dia sendiri selalu bayar iuran setiap bulan. Sebaiknya BPJS Kesehatan perbaiki dulu fasilitas yang ada untuk melayani peserta.