Sumber foto: Google

Belajar dari Akuisisi US Steel: Indonesia Perlu Perkuat Kendali Nasional di Industri Strategis

Tanggal: 28 Mei 2025 20:34 wib.
Tampang.com | Kasus akuisisi raksasa baja Amerika Serikat, US Steel, oleh perusahaan asing telah memicu perdebatan sengit dan intervensi langsung dari pemerintah AS. Hal ini bukan semata karena nilai transaksinya, melainkan karena makna strategis industri baja bagi keamanan nasional. Di tengah arus deras liberalisasi ekonomi global, Amerika Serikat menunjukkan bahwa negara tetap memiliki hak veto ketika industri strategis dipertaruhkan. Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia dalam menghadapi dinamika serupa?

US Steel, perusahaan yang berdiri sejak 1901 dan pernah menjadi simbol supremasi manufaktur AS, secara resmi menerima tawaran akuisisi senilai 14,9 miliar dollar AS dari Nippon Steel asal Jepang pada akhir 2023. Namun, alih-alih berjalan mulus, rencana tersebut justru memicu reaksi keras dari dua tokoh politik utama AS, Presiden Joe Biden dan Donald Trump. Kedua kutub politik yang berbeda ini kali ini kompak menolak akuisisi tersebut.

Presiden Biden secara eksplisit menyebut industri baja domestik sebagai bagian dari "prioritas keamanan nasional." Sementara itu, Donald Trump bahkan berjanji akan memblokir akuisisi itu jika kembali terpilih, janji yang kemudian ia penuhi usai dilantik pada Januari 2025. Trump kemudian mengaktifkan Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS) untuk meninjau ulang transaksi ini, mempertegas posisi negara sebagai pengendali atas aset industri vital.

“Ini menunjukkan bahwa dalam sektor strategis, logika pasar tidak berdiri sendiri. Negara tetap berhak memutuskan,” ujar Widodo Setiadharmaji, Tenaga Ahli Industri dan pengamat sektor baja dan pertambangan, dikutip dari Kontan, Selasa (27/5/2025). Menurut Widodo, dinamika kasus US Steel ini menyodorkan pelajaran penting bagi Indonesia yang sedang berupaya mengejar industrialisasi menuju tahun 2045.

Salah satu pelajaran krusial adalah pentingnya kehati-hatian dalam membuka akses kepemilikan asing, khususnya di sektor strategis seperti baja. Saat ini, Indonesia belum memiliki lembaga seperti CFIUS yang secara khusus menilai aspek keamanan nasional dari investasi asing. Keterbukaan investasi di Indonesia ditetapkan melalui Daftar Positif Investasi (DPI), namun belum ada mekanisme evaluasi lanjutan yang mempertimbangkan risiko strategis lintas sektor.

“Ketika sektor sudah terbuka, investor asing bisa masuk penuh tanpa perlu menilai apakah investasinya bisa mempengaruhi kemandirian industri atau tidak,” ujar Widodo, menyoroti celah dalam regulasi investasi saat ini.

Widodo menilai bahwa keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Krakatau Steel harus diperkuat sebagai jangkar kepemilikan nasional di sektor vital. Ia mencontohkan bagaimana Indonesia pernah menolak akuisisi Krakatau Steel oleh Mittal Steel pada awal 2000-an. “Itu bukan hanya keputusan bisnis. Itu adalah keputusan strategis untuk memastikan negara tetap punya kendali,” ujarnya.

Namun, untuk menjalankan peran strategis ini secara efektif, menurut Widodo, BUMN tidak bisa disamakan dengan perusahaan swasta yang semata-mata berorientasi laba. Pemerintah harus menempatkan mereka sebagai pelaksana kebijakan industrialisasi, bukan hanya pencetak laba jangka pendek. Widodo mengusulkan Indonesia mengembangkan mekanisme pengawasan investasi asing yang tidak hanya berbasis kuantitatif, tetapi juga mempertimbangkan aspek strategis secara komprehensif.

Mekanisme tersebut, meski tidak harus meniru mentah-mentah model CFIUS, dapat dirancang sesuai kebutuhan nasional dengan koordinasi lintas kementerian. “Evaluasi atas investasi strategis harus memadukan aspek intelijen, geopolitik, teknologi, hingga lingkungan,” ungkapnya.

Kasus US Steel menunjukkan bahwa liberalisasi ekonomi memiliki batas. Ketika kepemilikan industri menyangkut pertahanan, rantai pasok, atau kemandirian nasional, negara bukan hanya boleh campur tangan tetapi wajib hadir dan mengambil peran aktif. “Bagi Indonesia, ini bukan soal menolak asing, tetapi menempatkan kendali nasional sebagai prioritas dalam sektor-sektor yang berdampak sistemik. Negara tetap panglima, bukan sekadar regulator,” tutup Widodo, menegaskan pentingnya kedaulatan ekonomi.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved