Beban Utang Jatuh Tempo RI Mencapai Rp 800 Triliun di 2025
Tanggal: 15 Jul 2024 12:35 wib.
Pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menghadapi kendala yang cukup membebani. Tak lama setelah dilantik, mereka akan dihadapkan pada kewajiban melunasi utang jatuh tempo sebesar Rp 800 triliun. Utang ini akan memainkan peran krusial dalam perencanaan keuangan negara serta akan menjadi salah satu ujian besar bagi pemerintahan baru.
Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan memperlihatkan bahwa pada tahun 2024, jumlah utang jatuh tempo "baru" sebesar Rp 434,29 triliun. Utang ini terbagi atas Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 371,8 triliun, serta pinjaman sebesar Rp 62,49 triliun.
Namun, pada tahun pertama pemerintahan Prabowo, atau tepatnya pada tahun 2025, utang jatuh tempo diperkirakan akan melambung menjadi Rp 800,33 triliun. Angka ini terdiri dari SBN sebesar Rp 705,5 triliun dan pinjaman sebesar Rp 94,83 triliun. Tidak berhenti di situ, pada tahun 2026, utang jatuh tempo diprediksi akan bertahan pada tingkat yang signifikan, yakni Rp 803,19 triliun, terdiri atas SBN sebesar Rp 703 triliun dan pinjaman sebesar Rp 100,19 triliun. Proyeksi untuk 2027 juga menunjukkan pessimisme, dengan utang jatuh tempo yang diprediksi mencapai Rp 802,61 triliun, terdiri dari SBN sebesar Rp 695,5 triliun dan pinjaman sebesar Rp 107,11 triliun.
Agaknya, pada 2028, terjadi sedikit pengurangan, namun angka yang masih mencengangkan sebesar Rp 719,81 triliun. Angka ini terdiri dari SBN Rp 615,2 triliun dan pinjaman Rp 104,61 triliun. Mengutip data ini, selama periode 2025-2028, total utang jatuh tempo yang harus dilunasi oleh pemerintahan Prabowo-Gibran mencapai angka mencengangkan sebesar Rp 3.125,94 triliun. Barulah setelah itu, jumlah utang jatuh tempo akan secara perlahan mengalami penurunan hingga mencapai level terendah pada 2041 menjadi hanya sebesar Rp 30,8 triliun, yang terdiri atas SBN sebesar Rp 27,4 triliun dan pinjaman sebesar Rp 3,47 triliun.
Menariknya, pada akhir April 2024, total utang pemerintah Indonesia telah mencapai jumlah mencengangkan, yaitu Rp 8.338,43 triliun. Dari total hutang itu, profil utang jatuh tempo terdiri dari utang berjangka pendek (kurang dari 1 tahun) senilai Rp 600,85 triliun, utang berjangka sedang (1-3 tahun) Rp 1.762,25 triliun, utang berjangka menengah (di atas 3-5 tahun) Rp 1.480,12 triliun, utang berjangka panjang (di atas 5-10 tahun) Rp 2.437,57 triliun, utang jangka panjang menengah (di atas 10-15 tahun) Rp 787,36 triliun, utang jangka panjang menengah-panjang (di atas 15-20 tahun) Rp 573,11 triliun, dan utang jangka panjang (di atas 20 tahun) Rp 697,17 triliun.
Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, telah menjelaskan penyebab utang jatuh tempo yang begitu besar pada periode 2025-2027. Beliau menyatakan bahwa besarnya pembayaran utang jatuh tempo periode tersebut disebabkan oleh masa pandemi COVID-19. Pada saat itu, Indonesia membutuhkan hampir Rp 1.000 triliun untuk belanja tambahan. Tambahan belanja negara ini dilakukan karena penerimaan negara turun 19% akibat ekonomi yang terhenti.
Sri Mulyani meyakini besarnya utang jatuh tempo pada 2025-2028 itu tidak akan menjadi masalah selama persepsi terhadap APBN, ekonomi, dan politik Indonesia tetap positif. Jika kondisi stabilitas ini terganggu, pemegang surat utang RI bisa melepasnya dan kabur dari RI.
Diketahui pula bahwa dalam konteks pembayaran utang jatuh tempo, negara perlu memperhatikan akar permasalahan yang mendasarinya. Percepatan pertumbuhan ekonomi, pengawasan ketat terhadap alokasi anggaran, dan optimalisasi penerimaan pajak dapat menjadi langkah-langkah preventif yang diperlukan untuk mengelola beban utang jatuh tempo yang terus meningkat. Pemerintah juga harus menerapkan kebijakan fiskal yang bijaksana serta melakukan reformasi struktural dalam berbagai sektor untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan penerimaan yang berkelanjutan.
Sebagai kesimpulan, utang jatuh tempo yang mencapai angka begitu besar di periode yang akan datang akan menjadi ujian besar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat untuk mengelola utang tersebut agar tidak memberatkan perekonomian Indonesia dan berpotensi mengganggu stabilitas keuangan negara.
Ini akan menjadi ujian besar bagi pemerintahan baru dalam mengelola utang dan memperkuat struktur keuangan negara, sehingga pertumbuhan ekonomi serta stabilitas keuangan tetap terjaga. Membangun kepercayaan di mata investor internasional dan menjaga rating kredit yang baik akan menjadi langkah krusial dalam menghadapi beban utang jatuh tempo yang tinggi.