Bangkitkan Sagu dan Singkong: Solusi Strategis Reduksi Impor Gandum
Tanggal: 20 Mei 2025 22:21 wib.
Tampang.com | Indonesia dikenal sebagai negeri agraris yang kaya akan sumber daya alam, terutama bahan pangan lokal seperti sagu dan singkong. Namun ironisnya, sekitar 99 persen kebutuhan tepung terigu nasional masih bergantung pada impor gandum dari negara-negara seperti Australia, Kanada, dan Ukraina. Pada 2024 saja, volume impor gandum mencapai lebih dari 11,7 juta ton, dengan nilai fantastis sekitar 3,5 miliar dollar AS atau Rp 58 triliun (data BPS).
Ketergantungan ini tak hanya menimbulkan risiko ekonomi akibat fluktuasi harga global dan gangguan rantai pasok, tetapi juga mengabaikan potensi besar bahan pangan lokal yang lebih ramah lingkungan, berkelanjutan, dan sebenarnya sudah tersedia di dalam negeri.
Potensi Terlupakan: Sagu dan Singkong
Indonesia menyimpan sekitar 5,5 juta hektar dari total 6,5 juta hektar lahan sagu di dunia. Sementara itu, singkong ditanam di lebih dari 600.000 hektar lahan dengan produksi mencapai lebih dari 16 juta ton, menjadikan Indonesia produsen ubi kayu terbesar keempat di dunia. Sayangnya, kedua sumber daya ini belum dioptimalkan secara maksimal untuk menggantikan posisi dominan tepung terigu dalam industri pangan.
Sagu mengandung sekitar 83 gram karbohidrat per 100 gram dan memiliki indeks glikemik (IG) yang sangat rendah, hanya sekitar 28. Ini menjadikannya ideal untuk diet sehat dan penderita diabetes. Tapioka dari singkong, meski memiliki IG tinggi (~85), bebas gluten dan kaya energi. Keduanya dapat diolah menjadi aneka makanan modern—mulai dari mi, roti, hingga kue-kue bebas gluten.
Keunggulan lainnya, sagu tumbuh secara alami di lahan marginal dan rawa tanpa memerlukan input kimia, sehingga minim dampak lingkungan. Singkong pun dikenal sebagai tanaman tahan kekeringan dan dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Kunci Ketahanan Pangan: Kebijakan dan Teknologi
Pemerintah sebenarnya telah menginisiasi diversifikasi pangan melalui Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Namun, implementasi di tingkat industri dan konsumen masih minim. Padahal, dengan dukungan kebijakan yang konsisten, teknologi pengolahan yang modern, serta insentif untuk pelaku UMKM, Indonesia dapat membangun industri tepung lokal yang kuat dan berkelanjutan.
Di tengah tren konsumsi pangan sehat dan berkelanjutan, ini adalah momentum yang tepat untuk mengangkat sagu dan singkong dari sekadar alternatif menjadi bagian utama identitas pangan nasional.
Gizi, Karbon, dan Nilai Tambah Ekonomi
Secara gizi, tepung terigu unggul dalam kandungan protein (~13 g) dan serat (~10,7 g), namun memiliki IG tinggi dan mengandung gluten. Sebaliknya, sagu dan tapioka memang rendah protein dan serat, namun bebas gluten dan tinggi karbohidrat. Keduanya memiliki nilai tambah tersendiri dalam industri makanan bebas gluten dan kesehatan.
Dari sisi lingkungan, sagu unggul secara signifikan. Produksi tepung sagu hanya menghasilkan sekitar 38 kg CO2 per ton, jauh lebih rendah dibandingkan tepung terigu (350–620 kg CO2 per ton) dan tapioka (296 kg CO2 per ton). Bahkan, tanaman sagu mampu menyerap karbon hingga 240 ton CO2 per hektar per tahun—menjadikannya sebagai solusi berbasis alam dalam mitigasi perubahan iklim.
Dari Potensi Menjadi Pilar Industri
Di Papua, Maluku, dan Sulawesi, industri sagu mulai berkembang. Produk berbasis sagu seperti mi, biskuit, dan roti bebas gluten terus dipromosikan sebagai pangan sehat. Di sisi lain, singkong menjadi tulang punggung industri tapioka nasional, dengan penggunaannya tersebar di sektor pangan, industri pengolahan, hingga kosmetik.
Meski demikian, dominasi tepung terigu masih begitu kuat di pasar—terutama dalam produk mi instan, bakery, dan camilan olahan. Namun dominasi ini bukan sesuatu yang tak tergantikan. Pemerintah telah mulai mengembangkan food estate berbasis singkong dan sagu serta menawarkan insentif bagi industri yang menggunakan bahan lokal.
Menuju Kedaulatan Pangan
Jika dikelola secara serius, pengembangan sagu dan tapioka bisa menjadi jalan keluar dari ketergantungan impor gandum. Lebih jauh, hal ini berpotensi membuka lapangan kerja, menyerap hasil tani lokal, dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Investasi dalam riset, pengolahan modern, edukasi konsumen, serta insentif kebijakan akan menjadi faktor penentu. Sudah saatnya kita tidak lagi menyebut sagu dan tapioka sebagai "alternatif", tetapi sebagai tulang punggung baru sistem pangan Indonesia yang mandiri, sehat, dan berkelanjutan.