Badai Resesi Hantam Pariwisata Jakarta: Hotel dan Restoran Terancam PHK Massal Akibat Anjloknya Kunjungan dan Lonjakan Biaya
Tanggal: 26 Mei 2025 22:59 wib.
Tampang.com | Jakarta – Sektor pariwisata dan perhotelan di Jakarta tengah menghadapi ancaman serius. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan hasil survei Badan Pengurus Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPD PHRI) DKI Jakarta mengindikasikan adanya potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang membayangi industri ini. Tiga faktor utama menjadi pemicu krisis: anjloknya kunjungan wisatawan, peningkatan biaya operasional yang signifikan, serta kerumitan regulasi dan sertifikasi.
Dari tahun 2019 hingga 2023, BPS mencatat bahwa rata-rata persentase kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia hanya mencapai 1,98 persen per tahun jika dibandingkan dengan wisatawan domestik. Angka ini menunjukkan ketergantungan tinggi pada pasar lokal yang belum sepenuhnya mampu menopang industri di tengah minimnya kehadiran turis asing.
Faktor kedua yang memperparah kondisi adalah tekanan biaya operasional yang membengkak. Pelaku usaha tidak hanya dihadapkan pada berkurangnya pasar, tetapi juga harus menanggung peningkatan biaya yang signifikan. Tarif air dari Perusahaan Daerah Air Minim (PDAM) mengalami kenaikan hingga 71 persen, sedangkan harga gas elpiji melonjak 20 persen. Beban ini diperberat dengan kenaikan tahunan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang tercatat meningkat hingga 9 persen pada tahun ini.
“Dengan tekanan dari sisi pendapatan dan biaya yang tidak seimbang, banyak pelaku usaha mulai mengambil langkah-langkah antisipatif,” kata Sutrisno, perwakilan BPD PHRI DKI Jakarta. Situasi ini mendorong manajemen untuk mencari cara menekan pengeluaran demi kelangsungan bisnis.
Survei yang dilakukan BPD PHRI DKI Jakarta mengungkapkan kekhawatiran serius. Sebanyak 70 persen responden menyatakan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya intervensi kebijakan yang mendukung sektor pariwisata dan perhotelan, mereka akan terpaksa melakukan pengurangan jumlah karyawan.
Prediksi PHK ini tidak main-main. “Responden memprediksi akan melakukan pengurangan karyawan sebanyak 10 hingga 30 persen,” ujar Sutrisno. Angka ini mencerminkan potensi dampak sosial ekonomi yang cukup besar di sektor tenaga kerja Jakarta.
Selain itu, survei juga menunjukkan bahwa 90 persen responden telah melakukan pengurangan pekerja harian (daily worker), dan 36,7 persen responden akan melakukan pengurangan staf tetap. Ini menunjukkan bahwa upaya efisiensi sudah dimulai dari tingkat pekerja kontrak hingga karyawan inti.
Faktor ketiga yang menambah rumit situasi adalah kerumitan regulasi dan sertifikasi. Pelaku industri dihadapkan pada tantangan administratif berupa regulasi dan sertifikasi yang dinilai rumit dan memberatkan. Banyaknya jenis izin yang harus dipenuhi, seperti izin lingkungan, sertifikat laik fungsi, hingga perizinan minuman beralkohol, menjadi hambatan tersendiri.
“Proses birokrasi yang panjang, duplikasi dokumen antarinstansi, serta biaya yang tidak transparan dinilai menghambat kelangsungan usaha,” kata Sutrisno. Kerumitan administratif ini tidak hanya membuang waktu dan tenaga, tetapi juga menambah beban finansial yang tidak sedikit bagi pelaku usaha.
Situasi ini mendesak pemerintah untuk segera merumuskan kebijakan yang komprehensif dan suportif. Tanpa intervensi yang cepat dan tepat, industri perhotelan dan restoran Jakarta, yang merupakan salah satu penyumbang utama perekonomian Ibu Kota, terancam lumpuh dan berpotensi memicu gelombang PHK massal yang lebih besar.