Badai PHK Juga Menghantam Industri Perbankan
Tanggal: 13 Sep 2024 12:33 wib.
Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) rupanya tidak hanya berdampak pada industri tekstil, tetapi juga ternyata berdampak pada industri perbankan di Indonesia. Menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), sektor perbankan mengalami peningkatan angka PHK belakangan ini, terutama sebagai dampak dari digitalisasi layanan yang mengakibatkan berkurangnya kebutuhan tenaga kerja di kantor cabang.
Menurut peneliti LPEM FEB UI, Muhammad Hanri, banyak bank besar di Indonesia melakukan perampingan tenaga kerja dan beralih ke layanan digital untuk efisiensi operasional. Hal ini mengindikasikan bahwa perbankan dan sektor keuangan secara keseluruhan mengalami pergantian struktural akibat perkembangan teknologi. Hanri juga menegaskan bahwa fenomena PHK di industri perbankan mencerminkan bahwa peningkatan angka PHK tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi makro, melainkan juga dipengaruhi oleh pergeseran struktural dalam industri yang disebabkan oleh perkembangan teknologi.
Meskipun LPEM FEB UI tidak secara spesifik menyebutkan angka pegawai bank yang mengalami PHK akibat digitalisasi, data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sekitar 237.080 orang di Indonesia mengalami PHK selama Januari-Oktober 2023. Gelombang PHK tersebut mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2023, di mana 45.576 orang kehilangan pekerjaan mereka. Selama paruh pertama 2024, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa terdapat 32.064 orang yang terkena PHK, menunjukkan peningkatan sebesar 21,45% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. DKI Jakarta menjadi daerah dengan angka PHK tertinggi, diikuti oleh Banten dan Jawa Barat.
Salah satu contoh nyata dari dampak PHK di industri perbankan adalah kejadian di Commonwealth Bank (PTBC) pada tahun 2024. Sebanyak 1.146 pegawai bank ini mengalami PHK setelah PT Bank OCBC NISP Tbk mengakuisisi bank tersebut pada Mei 2024.
Data-data tersebut menggambarkan dampak yang signifikan dari digitalisasi terhadap sektor perbankan, dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Itu berarti ada kebutuhan nyata untuk adaptasi kebijakan ketenagakerjaan yang lebih responsif dan kontekstual, seiring dengan perubahan struktural dalam industri yang berdampak pada jumlah tenaga kerja.
Hal ini menjadi semakin penting mengingat bank bukan hanya sebagai tempat penyimpanan dan peminjaman uang, tetapi juga memiliki peran strategis dalam penggerak perekonomian suatu negara. Dengan demikian, perhatian terhadap dampak PHK di sektor perbankan bukan hanya menjadi masalah internal perusahaan, tetapi juga mempengaruhi stabilitas ekonomi suatu negara.
Perubahan struktural dalam sektor perbankan akibat digitalisasi juga mendesak perlunya strategi pengembangan tenaga kerja yang responsif. Pelatihan dan pengembangan keterampilan tenaga kerja mungkin menjadi kunci untuk memitigasi efek dari perampingan tenaga kerja di sektor perbankan. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan perusahaan perbankan itu sendiri dapat berkolaborasi untuk menyusun program-program pelatihan dan pengembangan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja setelah adanya perubahan teknologi dalam industri.
Dalam menghadapi tantangan perbankan yang dihadapi akibat digitalisasi, kebijakan yang proaktif menjadi penting untuk memastikan kesiapan tenaga kerja dalam menghadapi perkembangan teknologi. Pemerintah dapat berperan dalam memfasilitasi dialog antara bank, lembaga pendidikan, dan para pekerja untuk menyusun langkah-langkah inovatif menuju adaptasi yang memadai terhadap kondisi baru dalam sektor perbankan.