Alasan Investor Pilih Investasi AI di Malaysia, Orang Indonesia Pelit
Tanggal: 27 Okt 2024 15:16 wib.
Investasi infrastruktur kecerdasan buatan alias AI di Indonesia masih kalah dibanding Malaysia. Investor menyebut penghalang tumbuhnya teknologi AI karena kurangnya insentif dari pemerintah dan warga Indonesia yang cenderung pelit mengeluarkan uang untuk membayar produk.
Pertumbuhan industri teknologi kecerdasan buatan (AI) di Asia Tenggara kian meroket, terutama di Malaysia. Bukan tanpa alasan banyak investor yang memilih Malaysia sebagai tujuan investasi AI, sementara di Indonesia investasi AI masih kalah jauh. Salah satu alasan utamanya adalah perbedaan insentif dan tingkat kepelitan pengguna teknologi di kedua negara tersebut.
Investasi infrastruktur kecerdasan buatan alias AI di Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Malaysia. Meskipun potensi pasar teknologi AI di Indonesia sangat besar, investor masih enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satu alasan utamanya adalah kurangnya insentif dari pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri AI.
Co-founder dan General Partner Alpha JWC Ventures, Jeffrey Joe, menjelaskan pembangunan infrastruktur, apalagi AI sangat bergantung pada pemerintah setempat. Salah satu infrastruktur yang berperan dalam pengembangan AI adalah pusat data atau tempat menyimpan big data yang kemudian diolah AI untuk memberi insight kepada perusahaan.
“Itu mengapa kami melihat aktivitas investasi (AI) di Malaysia lebih tinggi. Mungkin pemerintah Malaysia punya lebih banyak insentif untuk industri ini,” ujar Jeffrey dalam Tech in Asia Conference di Ritz-Carlton Ballroom, Jakarta, Kamis (24/10).
Partner dari perusahaan modal ventura asal Singapura Square Peg Capital, Piruze Sabuncu, menyebut penghambat investasi di Indonesia karena penduduknya dikenal enggan untuk membayar.
Pemerintah Malaysia telah mengambil langkah proaktif dengan memberikan berbagai insentif kepada perusahaan teknologi, termasuk yang bergerak di bidang AI. Hal ini mencakup insentif pajak, akses mudah terhadap sumber daya manusia yang berkualitas, serta kebijakan yang mendukung penelitian dan pengembangan teknologi AI. Di sisi lain, Indonesia masih terlihat kurang agresif dalam memberikan insentif serupa kepada para pelaku industri AI.
Selain dari pihak pemerintah, tingkat kepelitan pengguna teknologi di Indonesia juga menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi pertumbuhan industri AI. Warga Indonesia cenderung lebih hemat dalam mengeluarkan uang untuk membayar produk atau layanan teknologi. Hal ini menjadi kendala bagi perusahaan teknologi AI dalam memperluas pasar dan meningkatkan adopsi teknologi AI di Indonesia.
Pola pikir kepelitan ini juga terlihat dalam penggunaan teknologi sehari-hari di Indonesia. Meskipun penetrasi penggunaan smartphone dan internet tinggi, pengguna teknologi di Indonesia cenderung lebih memilih produk atau layanan teknologi yang gratis atau memiliki harga yang sangat terjangkau. Hal tersebut menghambat pertumbuhan industri teknologi AI yang sering kali membutuhkan investasi besar dalam pengembangan dan pemasaran produknya.
Dalam konteks ini, para investor melihat bahwa Malaysia lebih memberikan prospek yang menarik dalam hal pembangunan industri AI. Dengan dukungan pemerintah yang lebih kuat dan perilaku konsumen yang lebih siap mengadopsi teknologi baru, Malaysia menjadi pilihan yang lebih menarik untuk berinvestasi dalam industri AI.
Mengatasi hambatan ini menjadi tugas penting bagi pemerintah dan pelaku industri di Indonesia agar dapat meningkatkan daya saingnya dalam industri AI. Langkah-langkah strategis, seperti memberikan insentif yang menarik bagi perusahaan teknologi, pendekatan yang kreatif dalam memperkenalkan teknologi AI kepada masyarakat, dan pendorong inovasi teknologi lokal, dapat menjadi kunci dalam meraih pertumbuhan industri AI yang berkelanjutan di Indonesia.
Dengan memperhatikan setiap faktor yang memengaruhi investasi AI di Indonesia, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan industri AI tersebut, sehingga Indonesia dapat bersaing secara global dalam pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan.