Alasan Bea Cukai Mengenakan Pajak Tinggi untuk Sepatu Bola Lebih Mahal dari Harganya
Tanggal: 26 Apr 2024 15:52 wib.
Bea Cukai di Indonesia telah menarik perhatian publik saat menetapkan pajak sebesar Rp 31 juta untuk sepatu bola yang sebenarnya hanya senilai Rp 10 juta. Hal ini pun menjadi sorotan karena dianggap sebagai tindakan yang tidak masuk akal. Alasan di balik besaran pajak yang tinggi ini ternyata terkait dengan adanya sanksi administrasi yang dikenakan oleh Bea Cukai.
Kejadian ini bermula dari unggahan video seorang pria yang membeli sepatu dari luar negeri dan harus membayar bea masuk yang jauh melebihi harga sepatu itu sendiri. Video tersebut diunggah oleh akun TikTok @radhikaalthaf dan langsung menuai perhatian di media sosial.
Pria tersebut membeli sepasang sepatu sepak bola dengan harga Rp 10,3 juta, namun ketika diberitahu oleh jasa pengiriman, ia harus membayar bea masuk sebesar Rp 31,81 juta. Video tersebut menjadi viral dan memicu pertanyaan besar terkait penetapan pajak yang begitu tinggi.
Radhika mengkritik besaran pajak yang ditetapkan Bea Cukai, yang menurutnya tidak masuk akal karena melebihi harga barang yang dibeli. Dalam video tersebut, dia juga mempertanyakan dasar perhitungan bea masuk yang begitu tinggi dan bernada protes terhadap kebijakan Bea Cukai.
Menindaklanjuti unggahan tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC Kemenkeu) memberikan penjelasan terkait kasus ini. Menurut DJBC, besaran bea masuk sebesar Rp 31,81 juta memiliki dasar perhitungan yang melibatkan denda administrasi atas kesalahan penetapan nilai pabean atau Cost, Insurance, and Freight (CIF) yang dilakukan oleh importir atau jasa kiriman, dalam hal ini adalah perusahaan pengiriman DHL.
Diketahui bahwa nilai CIF yang awalnya dilaporkan oleh DHL adalah 35,37 dolar AS atau setara dengan Rp 562.736. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, nilai CIF sebenarnya adalah 553,61 dolar AS atau sekitar Rp 8,81 juta. Dengan adanya ketidaksesuaian ini, DHL dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Besaran pajak yang harus dibayarkan Radhika terdiri dari bea masuk sebesar 30 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen, Pajak Penghasilan (PPh) impor sebesar 20 persen, dan tambahan sanksi administrasi sebesar Rp 24,74 juta. Total tagihan yang harus dibayarkan mencapai Rp 30,93 juta, sebuah angka yang jauh lebih tinggi dari harga asli barang yang dibeli.
Selain kasus yang menimpa Radhika, kasus serupa juga pernah dialami oleh Mira Hayati saat membeli emas seberat 1 kilogram di luar negeri. Saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Mira juga dikenai pajak yang sangat tinggi oleh Bea Cukai. Meski kemudian Mira membantah akan adanya negosiasi atau tawar-menawar terkait jumlah pajak yang harus dibayarkan, kasus ini juga menjadi sorotan dan menimbulkan keresahan di masyarakat.
Tindakan Bea Cukai menimbulkan polemik di masyarakat dan menjadikan institusi ini sebagai subjek perdebatan. Oleh karena itu, pihak Bea Cukai juga perlu melakukan transparansi yang lebih baik terkait peraturan dan penetapan pajak yang diberlakukan. Situasi ini juga harus diimbangi dengan sosialisasi yang lebih baik mengenai aturan pajak dan bea masuk bagi para importir maupun masyarakat umum, sehingga tidak menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat.
Meskipun pungutan pajak ini sejatinya merupakan kontribusi bagi negara, tetapi transparansi dan kejelasan peraturan pajak yang diberlakukan akan menjaga kepercayaan dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan yang berlaku.