Aksi Mogok Ojol: Wajah Baru Perlawanan Pekerja Digital di Indonesia
Tanggal: 25 Mei 2025 17:58 wib.
Tampang.com | Pada tanggal 20 Mei 2025, ribuan pengemudi ojek online (ojol) dari Jakarta hingga berbagai daerah bersatu melakukan aksi mogok massal sebagai bentuk penolakan atas ketidakadilan sistem kerja platform digital yang selama ini mereka alami. Protes ini bukan sekadar tuntutan tarif lebih adil, melainkan sebuah gerakan besar yang menyoroti kondisi kerja para pekerja digital yang terjebak dalam sistem eksploitasi modern.
Para pengemudi ojol kini menghadapi situasi kerja yang jauh berbeda dengan dunia industri tradisional. Jika dulu buruh bekerja di pabrik dengan kontrak jelas dan jaminan sosial, kini mereka “bermitra” dengan perusahaan teknologi besar yang mengatur kerja mereka lewat algoritma dan notifikasi. Status “mitra” yang diusung aplikator kerap menjadi kedok agar perusahaan lepas tangan dari tanggung jawab sebagai pemberi kerja.
Direktur sebuah organisasi pekerja digital menjelaskan, kondisi kerja para pengemudi sangat timpang. “Mereka tidak punya kepastian upah, jam kerja fleksibel tapi tanpa batas, dan tidak ada perlindungan hukum,” ujarnya. Bahkan potongan komisi yang diterapkan bisa mencapai 20 persen, jauh melebihi batas maksimum 15 persen yang ditetapkan pemerintah. Namun, sanksi atas pelanggaran tersebut hampir tidak pernah dijatuhkan.
Beban kerja makin berat dengan manipulasi algoritma yang tidak transparan, memaksa pengemudi bekerja lebih lama demi meraih insentif yang belum tentu mengimbangi pengorbanan mereka. Banyak pengemudi mengeluhkan penghasilan bersih yang hanya Rp70.000 hingga Rp100.000 setelah 12 jam beroperasi, belum termasuk biaya bahan bakar dan perawatan kendaraan yang harus ditanggung sendiri.
Mereka juga menghadapi risiko kecelakaan dan pemutusan akun secara sepihak tanpa perlindungan apapun. Sementara perusahaan aplikator beroperasi layaknya konglomerat teknologi global yang berkuasa dari balik layar, meninggalkan para pengemudi dalam ketidakpastian.
Pemerintah, meskipun telah menetapkan regulasi terkait potongan tarif dan perlindungan, belum menunjukkan langkah tegas dalam menindak pelanggaran yang merugikan jutaan pekerja informal digital ini. Hal ini menimbulkan kritik keras dari berbagai kalangan yang menilai negara abai terhadap nasib pekerja yang menjadi tulang punggung ekonomi digital.
Aksi mogok ini menjadi momentum penting bagi pengemudi ojol dalam menuntut keadilan sosial dan pengakuan atas hak-hak mereka. Seperti halnya buruh industri pada masa lalu yang memperjuangkan kondisi kerja layak, pekerja digital kini menghadapi tantangan baru dalam sistem kerja yang dikendalikan teknologi dan kepentingan korporasi.
Gerakan ini mengingatkan kita bahwa kemajuan teknologi harus diiringi dengan perlindungan yang setara bagi mereka yang menjadi tulang punggungnya. Jika tidak, eksploitasi yang tersembunyi di balik jargon inovasi hanya akan memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi di era digital.