97 Pinjol Terancam Sanksi Miliaran, KPPU Bongkar Dugaan Kartel Bunga!
Tanggal: 4 Mei 2025 19:01 wib.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah bersiap memulai sidang penting terkait dugaan praktik kartel suku bunga di industri pinjaman online (pinjol). Sidang tersebut akan digelar dalam waktu dekat melalui agenda Majelis Pemeriksaan Pendahuluan. Langkah ini menunjukkan keseriusan KPPU dalam menangani indikasi pengaturan suku bunga secara kolektif yang dinilai merugikan konsumen dan menyalahi prinsip persaingan usaha yang sehat.
Dugaan pelanggaran ini mencuat setelah KPPU menemukan indikasi bahwa para pelaku usaha pinjol terlibat dalam kesepakatan bersama mengenai plafon bunga harian yang mereka kenakan kepada konsumen. Penyelidikan mengarah pada pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tak tanggung-tanggung, sebanyak 97 penyelenggara pinjaman online ditetapkan sebagai Terlapor. Mereka diduga telah menetapkan batas atas suku bunga harian melalui perjanjian internal di bawah koordinasi Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Suku bunga yang disepakati mencapai 0,8% per hari pada awalnya, lalu diturunkan menjadi 0,4% per hari pada 2021. Perjanjian semacam ini disebutkan berlangsung selama periode 2020 hingga 2023.
Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa atau yang akrab disapa Ifan, menyatakan bahwa kesepakatan kolektif seperti itu berpotensi menghambat kompetisi yang sehat di pasar. Dalam konferensi pers yang digelar Minggu (4/5/2025), Ifan menyebut bahwa model bisnis pinjaman online di Indonesia mayoritas menggunakan skema Peer-to-Peer (P2P) Lending yang menghubungkan langsung pemberi pinjaman dan peminjam melalui platform digital.
Meski regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan semua penyelenggara terdaftar sebagai anggota AFPI, namun struktur pasar menunjukkan adanya konsentrasi dominasi oleh segelintir pemain besar. Hingga Juli 2023, terdapat 97 platform pinjol aktif di Indonesia, namun hanya beberapa yang menguasai sebagian besar pasar. KreditPintar memimpin dengan pangsa pasar sebesar 13%, diikuti oleh Asetku (11%), Modalku (9%), KrediFazz (7%), EasyCash (6%), dan AdaKami (5%). Selebihnya terbagi di antara pemain dengan porsi kecil, yang sebagian terafiliasi dengan platform e-commerce besar.
Struktur yang sangat terkonsentrasi ini dikhawatirkan memperkuat dominasi pasar dan mengurangi ruang bagi kompetitor lain. Selain itu, hubungan afiliasi antara perusahaan pinjol dengan entitas teknologi raksasa juga berpotensi menimbulkan ketimpangan dan mempersempit pilihan konsumen.
Pada 25 April 2025, Rapat Komisi KPPU secara resmi memutuskan untuk membawa kasus ini ke tahap selanjutnya, yaitu sidang pendahuluan. Agenda sidang ini bertujuan untuk menyampaikan hasil temuan awal, menguji validitas bukti, serta membuka jalan bagi proses pembuktian lanjutan yang lebih mendalam.
Jika nantinya para Terlapor terbukti melakukan praktik kartel, maka mereka bisa dikenakan sanksi administratif berat. KPPU mengindikasikan bahwa pelaku usaha bisa didenda hingga 50% dari keuntungan yang diperoleh selama masa pelanggaran atau maksimal 10% dari total penjualan mereka di pasar yang terdampak.
Ifan juga menegaskan bahwa penanganan kasus ini menjadi langkah penting untuk menciptakan iklim persaingan yang sehat di sektor keuangan digital. Industri fintech, khususnya pinjol, memang memegang peranan besar dalam meningkatkan inklusi keuangan masyarakat Indonesia. Namun, jika praktik-praktik anti-persaingan tidak dihentikan, justru akan merugikan konsumen, terutama dari kalangan menengah ke bawah yang selama ini menjadi pengguna utama layanan ini.
Berdasarkan data KPPU, hingga pertengahan 2023 tercatat ada lebih dari 1,38 juta akun pemberi pinjaman aktif dan 125,51 juta akun peminjam terdaftar di seluruh platform pinjol. Total akumulasi pinjaman yang telah disalurkan pun sangat besar, mencapai angka Rp 829,18 triliun.
Lebih lanjut, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kesenjangan pembiayaan (credit gap) yang cukup besar, mencapai Rp 1.650 triliun pada tahun 2024. Kesenjangan ini menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan pesat industri pinjaman online di Indonesia. Sayangnya, peluang besar ini justru dimanfaatkan sebagian pelaku usaha untuk bersekongkol menentukan tarif bunga yang bisa saja merugikan pengguna.
Melalui proses hukum ini, KPPU berharap regulator dan pemangku kebijakan bisa mengambil langkah korektif. Hal tersebut meliputi pembaruan standar industri, pengawasan lebih ketat terhadap asosiasi, hingga reformasi model bisnis pinjaman digital agar lebih transparan dan adil. Di sisi lain, penegakan hukum ini diharapkan bisa menurunkan suku bunga pinjaman ke level yang lebih kompetitif dan meringankan beban konsumen.
Hingga kini, KPPU masih menyusun susunan tim majelis sidang serta jadwal sidang perdana. Namun, satu hal yang pasti: hasil dari proses ini akan menjadi preseden penting yang bisa mengubah arah masa depan industri pinjaman online di Indonesia.