Wacana Perguruan Tinggi Kelola Tambang Pengamat, Pendapatan Kecil Risiko Besar
Tanggal: 29 Jan 2025 19:36 wib.
Wacana pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi menuai kritik karena dinilai memiliki risiko tinggi. Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai bahwa perguruan tinggi tidak layak mengelola tambang, terutama batu bara, karena minim pengalaman operasional, peralatan, dan dana yang memadai. Menurutnya, perguruan tinggi harus tetap berfokus pada misi utama mereka, yaitu pendidikan dan penelitian, bukan bisnis pertambangan.
Fahmy Radhi menekankan bahwa mengelola tambang bukan sekadar soal mendapatkan izin, tetapi juga membutuhkan keahlian teknis yang mendalam, investasi besar dalam peralatan dan tenaga kerja, serta kesiapan menghadapi risiko lingkungan yang tinggi. Ia khawatir jika perguruan tinggi dipaksa mengelola tambang, hal itu justru akan mengganggu fokus akademik dan memperburuk tata kelola institusi pendidikan.
Selain itu, dari sisi finansial, pendapatan yang dihasilkan dari tambang dinilai tidak sebanding dengan risiko yang harus ditanggung. Pengelolaan tambang membutuhkan modal besar dan keahlian manajerial yang tidak dimiliki oleh sebagian besar perguruan tinggi. Jika perguruan tinggi memaksakan diri untuk terjun ke sektor ini, dikhawatirkan mereka akan mengalami kesulitan dalam menjalankan bisnis tambang secara efisien dan menguntungkan.
Di sisi lain, wacana ini muncul sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan keterlibatan akademisi dalam pengelolaan sumber daya alam. Beberapa pihak berpendapat bahwa keterlibatan perguruan tinggi dalam sektor pertambangan dapat meningkatkan riset dan inovasi di bidang energi dan sumber daya mineral. Namun, tanpa persiapan yang matang, kebijakan ini bisa berujung pada kegagalan dan mengorbankan tujuan utama institusi pendidikan.
Pengamat lingkungan juga menyoroti dampak ekologis dari pertambangan yang harus menjadi perhatian utama. Jika tidak dikelola dengan baik, aktivitas tambang dapat menyebabkan deforestasi, pencemaran air, dan berbagai masalah lingkungan lainnya. Perguruan tinggi yang tidak memiliki pengalaman di bidang ini berisiko menciptakan dampak negatif bagi lingkungan sekitar.
Mengingat berbagai tantangan dan risiko yang ada, banyak pihak mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang wacana ini dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan, keahlian teknis, serta kesiapan finansial perguruan tinggi. Sebagai alternatif, perguruan tinggi dapat berkontribusi dalam penelitian dan pengembangan teknologi pertambangan yang lebih ramah lingkungan tanpa harus terlibat langsung dalam operasional tambang.
Dengan berbagai kritik dan perhatian yang muncul, pemerintah diharapkan dapat mengambil keputusan yang bijak terkait wacana ini agar tidak merugikan dunia pendidikan maupun sektor pertambangan itu sendiri.