Sumber foto: iStock

Tragedi Gunung Rinjani: Mengapa Pendaki Lebih Sering Jatuh Saat Turun? Ini Fakta Mengejutkannya

Tanggal: 30 Jun 2025 10:07 wib.
Mendaki gunung bukan sekadar petualangan, tetapi juga aktivitas penuh risiko. Perlu persiapan matang, pengetahuan dasar, serta kewaspadaan tinggi agar tidak terjadi kecelakaan fatal seperti kasus terbaru di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Juliana Marins, seorang pendaki asal Brasil, dilaporkan meninggal dunia setelah terjatuh di sekitar kawasan Danau Segara Anak, saat hendak mencapai puncak Rinjani. Peristiwa ini menjadi pengingat keras bahwa aktivitas mendaki, meskipun sering dianggap aman, tetap menyimpan bahaya yang tak boleh diremehkan.

Risiko Pendakian yang Sering Diremehkan

Menurut Outside Online, setiap tahunnya sekitar 40 juta orang mengunjungi kawasan pegunungan Alpen di ketinggian lebih dari 6.500 kaki. Sebagian besar datang untuk mendaki, meski tidak semua memiliki pengalaman atau kondisi fisik yang memadai.

Secara statistik, kecelakaan fatal memang tergolong kecil secara persentase. Sebuah studi di Prancis menunjukkan bahwa hanya 4% kecelakaan di jalur pendakian berujung kematian. Namun, kecelakaan pada pendakian gunung salju naik jadi 20%, dan pada aktivitas seperti BASE-jumping bahkan mencapai 47%.

Akan tetapi, jika dilihat dari total kematian olahraga di Swiss, pendakian justru menjadi penyebab utama, mencakup 25% dari seluruh kasus, dibandingkan dengan 17% dari pendakian gunung, 8% dari ski, dan hanya 1,8% dari BASE-jumping.

Turun Gunung Justru Lebih Berbahaya

Fakta mengejutkan: lebih dari 75% kecelakaan jatuh terjadi saat menuruni gunung, bukan saat mendaki. Sisanya, 20% terjadi saat pendakian naik dan 5% di medan datar.

Ada sejumlah alasan logis mengapa turun gunung lebih berisiko:



Tubuh sudah lelah akibat mendaki sebelumnya.


Otot paha depan bekerja ekstra keras secara eksentrik saat menahan beban saat turun.


Pendaki cenderung melangkah lebih cepat tanpa sadar.


Fokus mulai menurun karena merasa sudah “berhasil” mendaki.



Ironisnya, 90% kecelakaan terjadi dalam cuaca baik, bukan saat kabut, hujan, atau gelap. Bahkan 81% kecelakaan terjadi di jalur resmi yang ditandai, bukan di trek liar.

Jadi, banyak pendaki mengalami kecelakaan meskipun sudah berada di jalur yang benar dan cuaca cerah, menandakan bahwa faktor internal seperti kelelahan dan overconfidence sangat berpengaruh.

Perbedaan Risiko antara Pria dan Wanita

Data statistik menunjukkan bahwa wanita lebih sering mengalami kecelakaan pendakian secara keseluruhan, namun mayoritas bersifat ringan. Mereka menyumbang 55% insiden tak fatal, namun hanya 28% dari kecelakaan yang berujung kematian.

Sebaliknya, pria lebih dominan dalam kecelakaan fatal, terutama karena lebih sering menjelajah jalur off-trail (luar jalur resmi) yang jauh lebih berisiko.

Kronologi Tragedi Juliana Marins di Gunung Rinjani

Juliana Marins diketahui jatuh pada Sabtu pagi, 21 Juni 2025, di sekitar titik Cemara Nunggal, saat sedang dalam perjalanan menuju puncak Gunung Rinjani. Setelah dinyatakan hilang, pencarian langsung dilakukan oleh tim SAR gabungan.

Pada Senin, 23 Juni, sekitar pukul 06.30 WITA, korban terpantau melalui drone dalam kondisi tak bergerak, tersangkut di tebing berbatu pada kedalaman sekitar 500 meter.

Tim penyelamat mencoba menurunkan dua personel ke lokasi korban dan mencari titik pembuatan anchor kedua pada kedalaman 350 meter. Sayangnya, medan penuh overhang (tebing menjorok) menyulitkan pemasangan alat, sehingga tim harus melakukan panjat tebing manual.

Namun kondisi kabut tebal dan medan ekstrem memaksa penarikan tim rescue demi keselamatan. Evakuasi manual menjadi terlalu berisiko.

Helikopter Jadi Harapan Terakhir

Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, ikut turun tangan dan memimpin rapat koordinasi via Zoom pada pukul 14.30 WITA. Dalam rapat itu, ia mengusulkan penggunaan helikopter milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) untuk mengevakuasi korban.

“Lakukan semua kemampuan terbaik, termasuk rescue lewat airlifting agar tidak kehilangan golden time 72 jam pertama,” kata Gubernur.

Kepala Basarnas Mataram menjelaskan bahwa evakuasi via udara memungkinkan, tetapi harus menggunakan helikopter dengan spesifikasi khusus, seperti memiliki winch (hoist) dan kemampuan terbang stabil di cuaca berubah-ubah.

Hikmah dari Tragedi Rinjani: Jangan Anggap Remeh Gunung

Tragedi Juliana Marins menjadi alarm penting bagi para pendaki di mana pun berada. Gunung bukan hanya soal puncak dan foto indah, tapi tentang memahami risiko, batas kemampuan, dan pentingnya keselamatan.

Pendaki harus:



Melatih fisik sebelum mendaki


Mengenali medan dan cuaca


Menghindari overconfidence saat turun gunung


Mematuhi jalur resmi dan instruksi ranger


Tidak memaksakan diri jika kondisi tubuh atau cuaca tidak mendukung



Penutup

Gunung memang menawarkan keindahan dan kedamaian yang luar biasa. Namun seperti kata pepatah, “alam bisa bersahabat, tapi juga bisa mematikan.” Maka, jadilah pendaki yang bijak, tidak hanya mengejar puncak tapi juga pulang dengan selamat.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved