Sumber foto: iStock

Tragedi di Everest: Kenapa Ratusan Mayat Pendaki Dibiarkan Membeku?

Tanggal: 14 Mar 2025 22:05 wib.
Gunung Everest, yang menjulang setinggi 8.848 meter, adalah puncak tertinggi di dunia dan menjadi impian bagi banyak pendaki dari berbagai penjuru dunia. Terletak di perbatasan antara Nepal dan Tibet, Everest bukan sekadar tantangan fisik, melainkan juga mental.

Pendaki sering kali memerlukan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk mempersiapkan diri sebelum menghadapi delapan ribu meter lebih ke atas permukaan laut. Meskipun telah melakukan persiapan matang, keberhasilan mencapai puncak tetaplah sangat tidak pasti.

Hai ini menjadi alasan mengapa Gunung Everest menjadi lokasi yang penuh risiko, di mana lebih dari 335 orang telah kehilangan nyawa mereka hingga Desember 2024. Angka ini mencakup mereka yang ketika berusaha mencapai puncak maupun saat perjalanan turun dari gunung.

Data menunjukkan bahwa sekitar 1% dari semua pendaki mengalami kematian selama pendakian. Penyebab utama kematian tersebut umumnya adalah penyakit ketinggian akut, yang ditandai dengan gejala seperti kepala pusing, muntah, dan nyeri kepala yang hebat. Namun, berbagai faktor, seperti pengalaman pendaki, rute yang diambil, dan kondisi cuaca, juga berperan besar dalam tingkat risiko tersebut.

Keberadaan mayat di Gunung Everest menciptakan pandangan yang kelam tentang pendakian. Alan Arnette, seorang pelatih pendaki gunung yang berhasil mencapai puncak Everest pada tahun 2014, menjelaskan bahwa ketika seorang pendaki mengalami luka parah atau meninggal di gunung, sering kali rekan-rekannya terpaksa meninggalkan mereka jika tidak bisa menyelamatkan. Ini menjadi hal yang lumrah dalam situasi ekstrem yang dihadapi oleh para pendaki di ketinggian tersebut.

Melihat mayat di Gunung Everest, menurut Arnette, sama halnya dengan menyaksikan kecelakaan mobil yang mengerikan. “Tubuh mereka akan membeku di gunung,” ungkapnya, memberikan gambaran betapa keras dan dinginnya kondisi di puncak dunia. Mungkin terdengar mengerikan, namun inilah kenyataan yang harus dihadapi oleh para pendaki.

Mengembalikan jenazah dari Everest bukanlah hal yang sederhana. Laporan dari Business Insider mengungkapkan bahwa biaya untuk mengevakuasi mayat dapat mencapai puluhan ribu dolar, bahkan dalam beberapa kasus mencapai sekitar US$70.000, yang setara dengan lebih dari Rp1 miliar. Bukan hanya biaya yang menjadi kendala, tetapi juga risiko besar yang dihadapi selama proses evakuasi. Misalnya, dua pendaki asal Nepal tewas pada tahun 1984 ketika mereka mencoba mengambil jenazah dari Everest.

Data dari BBC menunjuk pada penyebab kematian yang umum seperti longsor dan terjatuh. Hal ini menjelaskan mengapa upaya pengambilan jenazah di gunung sangat berbahaya. Kondisi cuaca yang ekstrem dan medan yang sulit seringkali menghalangi tim pencari untuk berhasil membawa pulang jenazah dengan aman. Situasi ini pun membuat banyak jenazah akhirnya dibiarkan tergeletak di sana.

Kondisi Gunung Everest yang keras dan berbahaya menghadirkan dilema etika yang kompleks. Sementara keluarga mungkin ingin menguburkan orang terkasih mereka dengan layak, kenyataannya banyak pendaki yang tewas di daerah berbahaya dan di lokasi yang sulit diakses. Dengan jumlah pendaki yang terus meningkat setiap tahun, Gunung Everest semakin menjadi tempat yang memprihatinkan bagi para pendaki. Kematian di gunung ini bukan hanya menjadi berita di media, tetapi juga menyisakan pertanyaan tentang etika, tanggung jawab, dan batasan manusia dalam mengejar mimpi.

Adanya laporan tentang mayat yang dibiarkan di Everest bisa menjadi pengingat akan risiko ekstrem yang dihadapi dalam pendakian. Dikenal sebagai "Kuburan Everest", lokasi ini mengingatkan kita bahwa meskipun ada keinginan yang kuat untuk mendaki, menjadi bagian dari keindahan alam yang berbahaya ini bukanlah tanpa konsekuensi. Ketika seseorang gagal melewati batas mereka, hal itu biasanya berujung pada tragedi yang mengubah hidup, baik untuk individu tersebut maupun untuk keluarga dan teman-temannya.

Namun di sebalik semua itu, Everest tetaplah menjadi magnet bagi petualang. Ketika berita kematian muncul, banyak yang berpendapat bahwa pendaki yang pergi ke gunung tersebut mengetahui risikonya dan bersiap menghadapi konsekuensi, bahkan kematian. Dengan pendaki yang terus berdatangan tahun demi tahun, Gunung Everest tetap menjadi saksi bisu dari ambisi manusia dalam menaklukkan alam. 

Dalam setiap pendakian, tersimpan berbagai cerita, harapan, dan juga kesedihan, menggambarkan perjalanan seorang pendaki yang tak terlupakan, namun berisiko tinggi. Keputusan untuk meninggalkan mayat di gunung tidak hanya mencerminkan tantangan fisik, tetapi juga satu realitas pahit yang harus dihadapi setiap pendaki yang bercita-cita untuk berdiri di puncak dunia.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved