Sumber foto: Pinterest

Toxic Positivity: Saat Kamu Dipaksa Bahagia Padahal Lagi Hancur

Tanggal: 26 Mei 2025 20:47 wib.
Pernah nggak sih, kamu lagi sedih banget, lagi ada masalah berat, terus teman atau orang di sekitar bilang, "Ayo dong, semangat! Positive thinking aja!" atau "Sudah, jangan sedih terus, senyum aja!" Sekilas memang terdengar mendukung, ya. Tapi, kalau itu terjadi terus-menerus dan kamu merasa seperti nggak boleh menunjukkan kesedihanmu sama sekali, bisa jadi kamu lagi berhadapan sama yang namanya toxic positivity.Fenomena toxic positivity ini sebenarnya mirip kayak racun yang dibungkus gula-gula. Dari luar kelihatannya manis dan baik, tapi sebenarnya bisa merusak. Ini terjadi ketika kita secara berlebihan mendorong diri sendiri atau orang lain untuk mempertahankan sikap positif dalam segala situasi, bahkan saat hal itu nggak realistis atau justru menekan perasaan asli. Intinya, kita atau orang lain seolah dipaksa bahagia padahal lagi hancur.Bayangkan, kamu baru saja mengalami kegagalan besar, mungkin di pekerjaan atau dalam hubungan. Wajar banget kalau kamu merasa kecewa, sedih, atau bahkan marah. Itu adalah emosi asli yang sehat dan perlu dirasakan. Tapi, kalau ada yang bilang, "Sudah, lupakan saja! Semua ada hikmahnya kok, tersenyum saja!" atau bahkan yang lebih parah, "Kamu nggak bersyukur ya? Masih banyak yang lebih susah," rasanya pasti langsung nyesek. Kamu jadi merasa bersalah karena sedih, padahal kesedihan itu valid.Dampak dari toxic positivity ini lumayan serius buat kesehatan mental kita. Pertama, kita jadi cenderung menekan emosi palsu. Kita berusaha keras menampilkan wajah ceria dan "baik-baik saja" di depan orang lain, bahkan di depan diri sendiri, padahal di dalam hati sedang berkecamuk. Menekan emosi itu seperti menahan pegas, suatu saat pasti akan meledak atau justru pelan-pelan menggerogoti dari dalam. Bisa jadi kamu merasa cemas, stres, atau bahkan depresi karena nggak bisa jujur sama perasaanmu sendiri.Kedua, ini bisa menghalangi kita untuk memproses emosi dengan benar. Emosi itu punya fungsi, lho. Rasa sedih itu memberitahu kita ada sesuatu yang perlu diperhatikan, rasa marah itu sinyal ada batasan yang dilanggar. Kalau kita langsung menutupinya dengan "harus positif", kita kehilangan kesempatan untuk belajar dari pengalaman, menemukan solusi, atau bahkan meminta bantuan yang sebenarnya kita butuhkan. Akhirnya, masalahnya nggak selesai, cuma tertunda.Ketiga, bisa bikin kita merasa sendirian. Ketika orang lain terus-menerus menyuruh kita positif, kita jadi takut buat menunjukkan sisi rapuh kita. Kita merasa nggak ada yang mengerti, dan akhirnya memilih untuk memendam semuanya sendiri. Lingkungan yang seharusnya jadi tempat aman untuk berbagi malah jadi tempat di mana kita harus memakai topeng.Jadi, gimana dong? Bukan berarti kita nggak boleh positif, ya. Sikap optimis itu bagus. Tapi, ada perbedaan antara optimisme sehat dengan toxic positivity. Optimisme sehat itu mengakui rasa sakit, sedih, atau marah, lalu mencoba mencari jalan keluar atau melihat sisi baik setelah emosi itu diproses. Sedangkan toxic positivity itu langsung menolak keberadaan emosi negatif.Yang penting adalah jujur sama diri sendiri dan juga sama orang lain. Kalau lagi sedih, nggak apa-apa kok kalau sedih. Kalau lagi marah, ya nggak apa-apa kalau marah. Validasi perasaanmu sendiri dan beri ruang buat emosi itu. Lalu, kalau ada teman yang lagi down, jangan langsung menyuruh mereka "positif". Coba dengarkan dulu, validasi perasaannya, dan tanyakan apa yang mereka butuhkan. Kadang, yang dibutuhkan cuma telinga yang mau mendengarkan, bukan nasihat untuk jangan pura bahagia. Karena untuk punya mental sehat, kita butuh keberanian untuk merasakan dan menghadapi semua emosi, bukan cuma yang menyenangkan saja.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved