Tilap Ongkos Rp 118.000 Sopir Bus Kehilangan Uang Pensiun Rp 1,4 Miliar
Tanggal: 25 Apr 2025 11:36 wib.
Seorang sopir bus di Kyoto, Jepang, kehilangan hak atas dana pensiunnya senilai lebih dari 12 juta yen atau setara Rp 1,4 miliar, setelah Mahkamah Agung Jepang mengesahkan keputusan pemecatannya. Kasus ini menyita perhatian publik karena pemicu pemecatan tentang penggelapan ongkos sekitar Rp 118.000 dari sekelompok penumpang.
Peristiwa bermula pada tahun 2022, ketika sopir tersebut menerima uang tunai sebesar 1.000 yen dari lima penumpang, tetapi tidak mencatatkan transaksi tersebut ke dalam sistem pembayaran. Kamera pengawas di dalam bus merekam dengan jelas bahwa ongkos seharusnya mencapai total 1.150 yen. Sang sopir kemudian meminta penumpang memasukkan 150 yen ke kotak pembayaran, sementara sisanya ia simpan secara pribadi.
Seorang sopir bus di Kyoto, Jepang, kehilangan hak atas dana pensiunnya senilai lebih dari 12 juta yen (sekitar Rp 1,4 miliar), setelah Mahkamah Agung Jepang memutuskan pemecatannya akibat kasus penggelapan ongkos. Pengadilan menyatakan bahwa meski nilai uang yang digelapkan kecil, tindakan tersebut mencerminkan pelanggaran integritas yang serius.
"Penggelapan, sekecil apa pun nilainya, bisa menggerus kepercayaan masyarakat terhadap layanan transportasi publik, terutama yang dikelola pemerintah," bunyi pernyataan resmi dari Mahkamah Agung Jepang.
Keputusan ini pun menimbulkan diskusi luas di media sosial Jepang dan internasional, memicu perdebatan antara prinsip keadilan yang tegas versus pendekatan yang lebih manusiawi terhadap pelanggaran kecil.
Tak hanya kasus penggelapan ongkos, catatan internal perusahaan mengungkapkan bahwa sopir tersebut juga tercatat beberapa kali melakukan pelanggaran ringan, seperti mengisap rokok elektrik saat sedang bertugas, meskipun saat itu bus dalam keadaan kosong. Meski demikian, manajemen perusahaan menganggap akumulasi dari pelanggaran-pelanggaran ini cukup untuk menjatuhkan sanksi pemecatan.
Sementara itu, sang sopir sempat mengajukan banding dengan alasan bahwa tindakannya tidak merugikan perusahaan dalam jumlah besar dan dilakukan karena tekanan hidup. Namun Mahkamah Agung tetap menolak banding tersebut dan menegaskan bahwa tindakan itu tidak dapat ditoleransi.
Publik Jepang dan warganet dunia menunjukkan reaksi yang beragam. Sebagian mendukung keputusan tegas pengadilan karena menyangkut integritas pelayanan publik. Namun tak sedikit pula yang menyayangkan keputusan tersebut karena nilai yang digelapkan dianggap terlalu kecil jika dibandingkan dengan hilangnya dana pensiun senilai Rp 1,4 miliar yang telah dikumpulkan selama puluhan tahun kerja.
"Seharusnya ada hukuman yang lebih proporsional," ujar seorang warganet dalam komentar media sosial.
Kasus ini menjadi pelajaran penting, khususnya bagi pekerja di sektor publik. Bahwa kepercayaan masyarakat adalah aset paling berharga, dan tindakan sekecil apa pun yang merusaknya dapat berakibat fatal, termasuk kehilangan hak pensiun yang seharusnya dinikmati di masa tua.