Sumber foto: iStock

Terungkap! Misteri Kematian Tragis Firaun Tutankhamun di Usia 19 Tahun Menurut Analisis DNA Terbaru

Tanggal: 17 Mei 2025 14:19 wib.
Tutankhamun, salah satu firaun paling ikonik dari peradaban Mesir kuno, masih menyimpan berbagai misteri hingga kini. Sebagai bagian dari dinasti ke-18 pada periode Kerajaan Baru Mesir, Tutankhamun naik takhta saat usianya masih sangat muda dan wafat secara mendadak di tahun kesembilan pemerintahannya. Saat itu, usianya baru menginjak 19 tahun—terlalu dini bagi seorang raja. Kematian yang mendadak dan tanpa pewaris inilah yang memunculkan berbagai spekulasi dan teori konspirasi mengenai penyebab kematiannya.

Kini, berkat kemajuan teknologi dan ilmu forensik, sejumlah ilmuwan melakukan serangkaian penelitian berbasis analisis DNA untuk menguak penyebab wafatnya sang firaun muda. Mengutip laporan dari Live Science, tes DNA terbaru terhadap mumi Tutankhamun dilakukan guna mendeteksi kemungkinan penyakit yang bisa menjelaskan kematiannya secara ilmiah. Penelitian ini juga membuka jalan untuk mengidentifikasi hubungan kekeluargaan dan asal-usul mumi-mumi kerajaan lain yang sebelumnya masih misterius, termasuk ibu dan ayah Raja Tut.

Mumi Tutankhamun sendiri masih tersimpan di kamar makam aslinya di Lembah Para Raja, Luxor, Mesir. Situs ini menjadi tempat bersejarah penting yang pernah ditemukan oleh arkeolog Inggris, Howard Carter, pada tahun 1922. Penemuan makam Tutankhamun adalah salah satu pencapaian arkeologi terbesar di abad ke-20 dan menjadikannya firaun Mesir kuno paling terkenal di dunia.

Sejumlah artefak dan gambaran visual dari zaman tersebut menggambarkan keluarga bangsawan, termasuk Tutankhamun, dengan tampilan fisik yang cenderung feminin atau androgini. Berdasarkan observasi tersebut, beberapa pakar berasumsi bahwa sang raja mungkin menderita penyakit seperti ginekomastia (pertumbuhan payudara berlebih pada pria karena ketidakseimbangan hormon) atau bahkan sindrom Marfan, yaitu kelainan genetik yang menyebabkan tubuh tinggi kurus, jari-jari panjang, serta potensi kelainan jantung serius.

Namun, semua teori ini sempat diragukan karena belum ada bukti ilmiah yang cukup kuat. Hingga akhirnya, para peneliti menggunakan pendekatan modern dalam analisis genetik untuk menggali fakta. Dalam studi yang dipublikasikan pada Journal of the American Medical Association (JAMA) edisi 17 Februari, ditemukan bahwa kemungkinan besar Raja Tut meninggal akibat komplikasi malaria yang memperburuk kondisi tulangnya.

Tim peneliti yang dipimpin oleh Zahi Hawass, mantan kepala Dewan Tertinggi Purbakala Mesir, menganalisis total 11 mumi dari kerajaan yang sama. Tujuan mereka bukan hanya mencari penyakit genetik atau infeksi, tetapi juga menelusuri kemungkinan adanya hubungan darah antarmumi serta penyebab spesifik kematian Raja Tut.

Penelitian ini menantang teori-teori lama yang menyebutkan Raja Tut wafat akibat kekerasan fisik, seperti pukulan di belakang kepala, pembunuhan, atau bahkan keracunan. Peneliti menemukan bukti kuat bahwa infeksi malaria yang parah, disertai dengan gangguan aliran darah ke tulang (kondisi yang dikenal sebagai osteonekrosis), adalah penyebab utama kematian sang firaun.

Analisis DNA juga menemukan bahwa setidaknya empat mumi, termasuk Raja Tut, membawa parasit malaria. Dalam kasus Tutankhamun, malaria yang ia derita diperparah dengan cedera kaki yang parah, kemungkinan akibat terjatuh. Cedera ini bisa memicu komplikasi serius, seperti septikemia (infeksi dalam darah) atau bahkan emboli lemak, yang dapat berujung pada kematian, terutama jika sistem imun tubuh tengah lemah akibat infeksi malaria berat.

Ilmuwan menemukan tongkat jalan dan perlengkapan medis dalam makam Tutankhamun, yang mendukung hipotesis bahwa sang raja memang memiliki masalah mobilitas dan kesehatannya tidak stabil. Bahkan beberapa peralatan yang ditemukan disebut sebagai “apotek akhirat,” menunjukkan bahwa tim pengubur tahu betul kondisi medis yang dihadapi oleh Raja Tut sebelum kematiannya.

Dengan bukti-bukti baru ini, para peneliti menyimpulkan bahwa kematian Tutankhamun bukan karena tindakan kriminal, melainkan gabungan antara penyakit menular dan kondisi fisik yang rapuh, sebagian besar kemungkinan besar akibat kawin silang dalam keluarga kerajaan, yang meningkatkan risiko kelainan genetik.

Meski demikian, para ahli mengakui bahwa sebagian besar diagnosis ini tetaplah hipotesis ilmiah yang diperoleh dari kombinasi analisis DNA dan interpretasi terhadap artefak, bukan hasil dari pemeriksaan langsung menyeluruh pada tubuh sang firaun. Beberapa bagian tubuh Tutankhamun sudah rusak parah, yang membuat proses analisis lebih menantang.

Penelitian ini tidak hanya menguak misteri kematian seorang raja muda, tetapi juga memberikan wawasan baru mengenai bagaimana genetika, penyakit, dan budaya memengaruhi kehidupan bangsawan Mesir kuno. Meski sudah lebih dari tiga ribu tahun berlalu sejak kematiannya, Tutankhamun tetap hidup dalam ingatan dunia sebagai simbol kejayaan dan misteri peradaban Mesir Kuno.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved