Teror Buaya di Indonesia: Mengapa Serangan Semakin Meningkat?
Tanggal: 2 Feb 2025 16:15 wib.
Tampang.com | Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah serangan buaya terhadap manusia tertinggi di dunia, dengan Bangka Belitung menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak. Laporan dari Channel News Asia, yang mengutip data dari CrocAttack, mencatat bahwa dalam satu dekade terakhir, terjadi lebih dari 1.000 serangan buaya di Indonesia, di mana 486 di antaranya berujung kematian.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Biological Conservation pada April 2023 menunjukkan bahwa tiga provinsi dengan jumlah serangan buaya tertinggi adalah Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur. Fenomena ini menarik perhatian media internasional, mengingat peningkatan kasus yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Mengapa Serangan Buaya Semakin Marak?
Langka Sani, seorang aktivis lingkungan sekaligus pendiri Alobi Foundation di Pangkalpinang, menjelaskan bahwa kasus serangan buaya di Pulau Bangka meningkat secara drastis dalam enam tahun terakhir. Sejak 2016, lebih dari 60 orang tewas akibat serangan buaya, dengan 10 kematian tercatat hingga November 2024.
Menurut Langka, salah satu faktor utama meningkatnya konflik antara manusia dan buaya adalah rusaknya habitat alami reptil ini. Perambahan lahan akibat aktivitas manusia, terutama penambangan timah, telah menyebabkan buaya kehilangan tempat tinggalnya. "Konflik ini seperti bom waktu," ujarnya.
Bangka Belitung merupakan salah satu daerah penghasil timah terbesar di dunia, yang menjadi bahan utama dalam industri elektronik global. Perusahaan besar seperti Apple dan Samsung diketahui mendapatkan pasokan timah dari wilayah ini. Berdasarkan data dari Statista, pada 2023, Indonesia menjadi produsen timah terbesar ketiga di dunia setelah China dan Myanmar. Dari total produksi nasional, sekitar 90 persen berasal dari Bangka.
Selama bertahun-tahun, aktivitas penambangan di Bangka dikelola oleh PT Timah, perusahaan milik negara. Namun, dalam lebih dari satu dekade terakhir, tambang ilegal mulai menjamur, merusak ekosistem sekitar. Para penambang ilegal seringkali mengeksploitasi area yang sebenarnya diperuntukkan bagi hutan lindung atau kawasan reklamasi perusahaan.
Dampak Tambang Ilegal terhadap Habitat Buaya
Buaya muara (Crocodylus porosus), yang merupakan spesies paling sering menyerang manusia, biasanya hidup di sekitar muara sungai. Aktivitas penambangan ilegal di daerah ini mengganggu habitat mereka, memaksa buaya untuk bermigrasi ke lokasi lain. Namun, ketika mereka tiba di wilayah baru, sering kali tempat tersebut sudah dihuni oleh buaya lain, sehingga terjadi persaingan sengit yang mendorong buaya-buaya ini mendekati pemukiman manusia.
Menurut Langka, buaya muara adalah spesies terbesar di antara jenisnya, mampu tumbuh hingga 7 meter dengan berat hampir 1.000 kg. Mereka memiliki pendengaran yang sangat sensitif dan terganggu oleh suara bising akibat aktivitas penambangan. "Kadang mereka menyerang penambang ilegal, atau bermigrasi ke hilir. Namun, saat mereka tiba di tempat baru, wilayah itu sering kali sudah dihuni buaya lain," jelasnya.
Akibatnya, terjadi pertempuran antarbuaya untuk memperebutkan wilayah, dan beberapa di antaranya akhirnya masuk ke area perkotaan. Di Bangka sendiri, terdapat sekitar 97 sungai yang melintasi daerah pemukiman, termasuk di Pangkalpinang, ibu kota provinsi Bangka Belitung. Dengan kondisi air yang keruh akibat pencemaran dari tambang timah, keberadaan buaya sering kali sulit dideteksi.
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas pertambangan juga mulai merambah ke laut, semakin memperburuk kondisi ekosistem sungai dan daerah pesisir. Hal ini mendorong buaya keluar dari habitat alaminya dan meningkatkan kemungkinan interaksi berbahaya dengan manusia.
Respon Masyarakat dan Kesulitan dalam Upaya Konservasi
Ketika serangan buaya terjadi, reaksi masyarakat sering kali berupa penangkapan atau pembunuhan buaya sebagai langkah perlindungan diri. Hal ini menjadi tantangan besar bagi organisasi konservasi seperti Alobi Foundation, yang berusaha menyelamatkan dan merelokasi buaya yang terdampak.
Endi Yusuf, manajer penyelamatan Alobi Foundation, menyebutkan bahwa banyak buaya yang terluka akibat konflik dengan manusia sulit bertahan hidup. "Jika tim kami tiba di lokasi dan menemukan buaya dalam kondisi terluka, kemungkinan besar mereka tidak akan bertahan," ujarnya.
Meskipun buaya muara secara hukum dilindungi oleh peraturan pemerintah yang melarang penangkapan, perburuan, atau pembunuhan mereka, tingkat konflik yang tinggi di Bangka membuat regulasi ini sulit diterapkan.
Namun, menariknya, meskipun habitat mereka terus mengalami degradasi dan banyak buaya yang dibunuh, populasi buaya di Bangka tampaknya tetap stabil, bahkan mungkin meningkat. Hingga saat ini, belum ada data pasti mengenai jumlah populasi buaya muara di pulau tersebut, sehingga sulit untuk memprediksi bagaimana konflik ini akan berkembang di masa depan.