Sakit Hati PMI Asal Madiun yang Dicerai Sepihak Suami, Robohkan Rumah Impian Pakai Alat Berat
Tanggal: 26 Apr 2024 11:19 wib.
Siti Fatimah, seorang Pekerja Migran Indonesia asal Kabupaten Madiun, harus menanggung sakit hati yang dalam ketika suaminya menceraikannya secara sepihak. Peristiwa tragis tersebut telah mendorong wanita tangguh ini untuk merobohkan rumah impian yang telah dibangunnya dengan susah payah di Dusun Pucanganom, Desa Pucanganom, Kecamatan Kebonsari pada Kamis (18/4/2024) menggunakan alat berat. Rumah tersebut merupakan hasil jerih payah Siti Fatimah selama menjadi pekerja migran di Hongkong sejak tahun 2015.
Upaya mediasi pada Rabu (17/4/2024) sebelumnya telah dilakukan, namun sayangnya tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Kepala Dusun Pucanganom, Nuryanto, mengonfirmasi bahwa rumah Siti Fatimah akhirnya dirobohkan menggunakan alat berat dua hari sebelumnya. "Sudah kami mediasi dan tidak ada hasil. Dari pihak laki-laki nanti akan menuntut ke jalur hukum," ungkap Nuryanto. Ia juga mengungkapkan bahwa rumah yang dirobohkan terletak di tanah yang dibeli dari pasangan suami istri, Mutahtohirin (35) dan Siti Fatimah (38), keduanya juga seorang pekerja migran. Namun, setelah menikah, kehidupan rumah tangga mereka tidak berjalan lancar, dan akhirnya Mutahtohirin menceraikan Siti Fatimah.
Siti Fatimah sendiri mengungkapkan rasa kesalnya dan keputusasaannya yang mendalam yang mendorongnya untuk merobohkan rumah yang telah dibangunnya. Ia merasa sakit hati karena diceraikan suaminya secara sepihak, diduga karena ada orang ketiga. "Saya diceraikan tanpa sepengetahuan saya. Karena dia sudah sama yang lain," keluh Siti. Siti mengaku juga telah melakukan berbagai upaya termasuk melaporkan ke ketua RT dan perangkat desa setempat. Namun, saat dia sudah mendatangkan alat berat, pihak keluarga mantan suaminya mempersulit dengan dalih harta gono-gini.
Rumah yang kini berdiri merupakan hasil tabungan dari kerja keras Siti Fatimah di luar negeri sejak tahun 2015. Ia berharap rumah tersebut dapat direnovasi sesuai harapannya untuk kenyamanan anak-anaknya. "Sebenarnya ini rumah saya dan ini hak saya. Saya yang beli dan saya bagusin biar ditempati anak-anak saya. Makanya saya mau bagusin rumahnya," ujar Siti.
Namun, kekecewaan Siti bertambah saat mengetahui bahwa kepemilikan tanah tempat rumah tersebut dibangun masih belum jelas. Bahkan luas tanah tidak sesuai dengan yang dijanjikan mantan suaminya, yaitu 222 meter persegi. Faktanya, luas tanah itu jauh lebih kecil, hanya berkisar ratusan meter persegi. Siti Fatimah menegaskan bahwa ia akan menempuh jalur hukum bila mantan suaminya juga mengambil langkah yang sama.
Peristiwa tragis ini tidak hanya merugikan secara emosional bagi Siti Fatimah, tetapi juga secara finansial. Ia telah menghabiskan sekitar Rp 200 juta yang diberikan kepada mantan suaminya agar dapat membangun rumah dua lantai sesuai dengan impian mereka. Namun, semua rencana tersebut kandas, dan Siti akhirnya harus menanggung sakit hati yang mendalam akibat perceraian yang tidak adil tersebut.
Kisah Siti Fatimah menjadi cermin dari banyaknya kasus perceraian yang menimpa tenaga kerja wanita migran Indonesia. Banyak di antara mereka yang harus merasakan sakit hati dan penderitaan akibat perceraian tidak adil, dan seringkali mereka harus berjuang sendirian tanpa perlindungan yang memadai. Diharapkan pemerintah dan lembaga terkait dapat memberikan perlindungan dan dukungan yang lebih baik bagi tenaga kerja migran, terutama dalam menghadapi kasus perceraian yang memerlukan penanganan khusus dan keadilan yang seimbang.