Sumber foto: Google

Putusan Mahkamah Konstitusi, Ayah Atau Ibu Kandung yang Mengambil Paksa Anak Bisa Dijerat Pasal 330 ayat 1 KUHP

Tanggal: 28 Sep 2024 19:07 wib.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya permohonan uji materiil Pasal 330 ayat 1 KUHP terkait pengambil paksaan anak yang belum cukup umur oleh ayah atau ibu kandung dari kekuasaan hak asuh yang telah ditetapkan oleh pengadilan.

Walaupun tidak dapat mencampuri masalah laporan penggugat yang ditolak kepolisian, MK menyatakan seharusnya polisi "tidak ragu" untuk mengambil tindakan. Permohonan atau gugatan ini sebelumnya diajukan oleh lima ibu tunggal yang anaknya diculik oleh mantan suami mereka.

Dan ketika para ibu ini melaporkan penculikan tersebut ke polisi, ditolak dengan alasan yang mengambil paksa adalah ayah kandung dari anak sehingga tidak bisa dipidana. Akibatnya selama bertahun-tahun mereka tak tahu di mana keberadaan buah hatinya.

Itu sebabnya dalam gugatan tersebut para pemohon ingin agar Pasal 330 ayat 1 KUHP yang memiliki frasa 'barang siapa' diubah menjadi 'setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak.

Dalam sidang pembacaan putusan yang berlangsung pada Kamis (26/09), menolak permohonan penggugat. Alasan MK, Pasal 330 ayat 1 KUHP telah memberi perlindungan hukum atas anak dan kepastian hukum yang adil.

Ini sesuai dinyatakan dalam Pasal 28B ayat 2 dan Pasal 28B ayat 1 UUD 1945. Sebab frasa barang siapa, menurut tafsir Mahkamah, sudah mencakup setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon.

"Bahwa frasa barang siapa dalam Pasal 330 ayat 1 KUHP merupakan padanan kata dari bahasa Belanda 'hi die' yang banyak digunakan dalam rumusan KUHP yang menunjuk kepada siapa saja atau orang yang melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana," ujar Hakim MK Arief Hidayat.

"Bahwa subjek hukum yang menjadi sasaran norma menggunakan frasa 'barang siapa' seperti dalam ketentuan Pasal 330 ayat 1 KUHP... tidak memberikan limitasi, pengecualian atau kualitas terhadap orang sebagai subjek hukum," sambungnya.

Selain itu, menurut Mahkamah, merujuk pada UU KUHP yang baru dan akan berlaku pada Januari 2026 nanti, rumusan Pasal 330 ayat 1 telah diperbaiki melalui penggunaan frasa 'setiap orang'.

MK juga menyatakan dalam hal perbuatan dari orang tua kandung anak bukan pemegang hak asuh melakukan pengambil paksa dan menguasai anak "dapat dianggap merupakan tindak pidana sepanjang perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana".

Sehingga meskipun yang mengambil anak adalah orang tua kandung, jika dilakukan secara paksa tanpa hak/izin maka tindakan tersebut "termasuk dalam Pasal 330 ayat 1 KUHP".

"Artinya jika pengambil anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki izin hak asuh atas putusan pengadilan dilakukan tanpa sepengetahun dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh, terlebih dengan disertai paksaan atau ancaman maka tindakan itu dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat 1 KUHP".

Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah ajukan pendapat berbeda, Namun demikian pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan tersebut datang dari Hakim Konstitusi, M Guntur Hamzah.

Ia menyatakan MK semestinya mengabulkan untuk sebagian permohonan para pemohon dengan memberikan tafsir norma Pasal 330 ayat 1 KUHP sepanjang frasa 'barang siapa' bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'setiap orang termasuk ayah atau ibu kandung'.

Sehingga pasal yang diuji ini akan berbunyi:

"Setiap orang dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, termasuk ayah/ibu kandungnya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun".

Dalam bagian lain putusannya, MK menanggapi persoalan para pemohon yang ditolak laporannya oleh polisi. Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang menilainya.

Namun, jika mencermati penegasan MK dalam pertimbangan hukum di atas, "seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan dengan penerapan Pasal 330 ayat 1 KUHP," ujar Hakim MK, Arief Hidayat.

"Dikarenakan unsur barang siapa yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini adalah orang tua kandung anak baik ayah atau ibu."

Kisah ibu yang anaknya diambil paksa mantan suami, Coretan tangan dari bocah berusia enam tahun itu menghampar di setiap sudut apartemen Angelia Susanto. Gambar mobil Ferarri yang diwarnai krayon hijau menempel di pintu kulkas meski sudah lusuh dan koyak di beberapa bagian.

Stiker mobil-mobilan yang dikelir aneka warna, juga dibiarkan menghiasi dinding kamarnya yang bercat putih.

"Ini EJ yang gambar, dia senang menggambar, jadi modal saya buku gambar, spidol, krayon udah begitu aja bakal anteng," cerita Angelia Susanto sambil menunjuk ke pintu kulkas yang penuh dengan kreasi tangan anaknya.

Di ruang tengah apartemennya, mobil mainan berwarna merah yang sering dipakai EJ keliling kamar masih dibiarkan teronggok bersama beberapa sepeda anaknya. Tas sekolah, buku gambar, bola basket, pakaian dan segala hal miliknya dibiarkan di tempat semula.

"Semuanya memang saya biarkan seperti dulu, jadi kalau nanti EJ pulang dia masih bisa lihat semuanya masih sama," ucapnya penuh harap.

Enrico Johannes adalah anak satu-satunya Angelia Susanto yang lahir pada 5 Juni 2013. Tapi empat tahun lalu  tepatnya pada 30 Januari 2020 Angelia mengeklaim putranya itu diculik oleh seseorang dalam perjalanan menuju sekolah. Angelia menduga orang tersebut adalah ayah kandung EJ.

Setiap kali mengingat peristiwa tersebut, Angelia tak bisa menahan tangis. Air matanya tumpah, tapi suaranya tersendat. Terasa seperti jeritan seorang ibu yang merindukan sang anak.

"Saya tidak akan lupa seumur hidup saya," ungkapnya sambil menyeka air mata.

"Saya cuma pernah merasakan kehilangan yang berat waktu ayah saya meninggal."

"Rasanya saya mau mati saat itu juga, karena satu-satunya alasan saya hidup adalah EJ ternyata enggak ada dan diambil oleh orang yang paling kejam yang saya kenal."

Angelia menikah dengan mantan suaminya pada 2001. Keduanya berkenalan ketika Angelia masih duduk di bangku kuliah. Sementara pasangannya adalah warga Filipina yang kala itu bekerja di Indonesia sebagai IT Specialist.

Meskipun usia mereka terpaut jauh delapan tahun Angelia tak mempersoalkan hal itu. Mereka pun menikah di Bogor, Jawa Barat. Di awal-awal pernikahan, Angelia mengaku hubungannya dengan sang suami berjalan harmonis.

Hingga suatu saat, Angelia ditugaskan ke Singapura pada 2005. Setahun kemudian, suaminya itu menyusul dan meninggalkan pekerjaannya di Indonesia, kemudian tak pernah bekerja lagi. Pada momen itulah, klaim Angelia, masalah di rumah tangganya mulai bermunculan hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik verbal maupun fisik.

Mulanya dia mengaku menerima saja perlakuan sang suami karena dianggap pertengkaran biasa yang akhirnya akan baikan lagi. Itu kenapa, Angelia mengaku dirinya tak pernah melakukan visum. Pertengkaran untuk hal-hal kecil, yang saya pikir enggak akan menjadi masalah. Contoh, saya beli tisu dengan merek berbeda dari yang dia mau, bisa berantem.

Segala barang penempatannya harus dia yang menentukan. Kalau marah, agresinya menghancurkan barang, bentak-bentak saya. Bodohnya saya tidak pernah melakukan visum dan dia kalau pukul di area yang sulit berbekas," klaim Angelia.

Menurut Angelia, kelahiran putranya, Enrico Johannes, pada 2013, tak juga membuat pertengkaran dan kekerasan yang dialaminya mereda. Alih-alih, klaim Angelia, ada kejadian dia dipukul saat sedang menyusui. Angelia juga mengeklaim sang suami melakukan kekerasan psikis terhadapnya.

"Dia seperti mengecilkan harga diri saya dengan membuat saya tidak ada apa-apanya. Dan itu diulang-ulang terus, saya dibuat ketergantungan psikis yang sangat besar,” kata Angelia.

"Itu yang membuat saya berpikir, ini enggak bisa dibiarkan,” sambungnya.

Angelia mengatakan dirinya semakin yakin untuk bercerai karena, menurutnya, kekerasan verbal dan fisik terus berlangsung ditambah tekanan psikis dari suami. Angelia akhirnya mengajukan permohonan cerai setahun setelah pulang ke Indonesia pada tahun 2015 ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Dia beralasan sudah tak sanggup lagi menanggung kekerasan yang dialami, apalagi sampai membahayakan anaknya. Akan tetapi, proses perceraian itu tak berjalan mulus sebab suaminya tersebut menolak berpisah jika tak diberikan harta gono-gini yang nilainya mencapai miliaran rupiah, klaim Angelia.

Tak ada pilihan lain, Angelia pun menerima persyaratan tersebut. Bekas suaminya pun akhirnya menandatangani surat persetujuan cerai, kata Angelia. Pada 24 Oktober 2017, hakim PN Jakarta Pusat mengetok palu: mengabulkan perceraian dan menjatuhkan hak asuh serta pemeliharaan anak kepada penggugat, yakni Angelia Susanto. Namun, menurut Angelia, mantan suaminya tiba-tiba mengajukan banding bahkan kasasi. Belakangan semua putusan hukum menguatkan putusan PN Jakarta Pusat yang berpihak pada Angelia.

"Jadi benar-benar selesai itu 7 September 2020 dengan putusan kasasi Mahkamah Agung."

Hambatan kultur dan hukum inilah yang membuat Angelia dan Shelvia, bersama tiga ibu lain yang bernasib sama dengan mereka, mengajukan gugatan uji materiil Pasal 330 ayat 1 KUHP ke Mahkamah Konstitusi.

Menurut pengacara yang mendampingi mereka, Virza Roy Hizzal, gugatan uji materiil ini ditempuh karena pasal itu dianggap multitafsir atau dimaknai berbeda-beda oleh anggota kepolisian.

Dari lima kliennya yang pernah membuat laporan Pasal 330 ayat 1 KUHP ke polisi, kata Virza, empat di antaranya tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur dan menyembunyikan anak adalah ayah kandung sendiri. Satu laporan kliennya diterima, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan.

Atas dasar itulah kelimanya memutuskan mengajukan gugatan uji materiil ke MK agar hakim konstitusi memberikan tafsir yang jelas atas frasa 'barang siapa' dalam pasal tersebut.

Pasal 330 ayat 1 KUHP menyebutkan:

"Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."

Virza mengungkapkan bahwa kenyataan di lapangan banyak laporan yang ditolak kepolisian dengan alasan yang mengambil paksa adalah orang tua kandung.

"Jadi dalam permohonan ini kami minta hakim menafsirkan di frasa barang siapa. Kami minta supaya pasal ini ditafsirkan sebagai setiap orang tanpa kecuali. Ayah atau ibu kandung jangan dikecualikan..."

Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan mendukung langkah para ibu tunggal mengajukan permohonan uji materiil pasal bermasalah ini ke Mahkamah Konstitusi.

Jika mencermati isi pasal tersebut, kata Ami, polisi semestinya berpatokan pada frasa "menarik seseorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang".

Apa yang dilakukan oleh lima perempuan ini, kata Ami, mewakili perempuan-perempuan lain yang tak berdaya meski telah mengantongi hak asuh yang sah. Sederhananya, siapa pun yang mengambil paksa tanpa hak secara hukum, bisa dipidana terlepas bahwa itu ayah atau ibu kandung, menurut Ami.

"Contoh ketika hak asuh yang sah jatuh ke tangan ibu, maka ayah kandung jika ingin mengajak jalan-jalan anak ke luar negeri harus seizin ibunya."

"Jadi memang betul Pasal 330 ayat 1 harus diberikan tafsir yang jelas."

Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polri, AKBP Ema Rahmawati, mengakui secara terang benderang soal adanya ketidaksamaan penafsiran di antara penegak hukum mengenai Pasal 330 ayat 1 KUHP sehingga implementasi di lapangan memang jadi berbeda-beda.

Namun, katanya, sebagian besar polisi masih berpandangan bahwa anak berhak diasuh oleh kedua orang tuanya walaupun kuasa hak asuh berada di salah satu pihak – merujuk pada UU Perlindungan Anak.

Itu mengapa kendati anak tersebut "diambil paksa" oleh salah satu orang tua yang sudah bercerai dan tak memiliki hak asuh yang sah, dianggap bukanlah tindak pidana penculikan. Sebab ayah maupun ibu berhak memberikan kasih sayang dan pengasuhan, kata Ema.

"Pemahaman tadilah yang membuat ambigu terhadap penafsiran Pasal 330 ayat 1 KUHP ini, jadi ketika anak berada dalam kuasa hak asuh ibu dan diambil paksa oleh suaminya, tidak bisa dilaporkan penculikan," jelas Ema.

"Kecuali yang mengambil paksa bukan oleh orang tuanya, kami bisa pakai Pasal 330 ayat 1 dan ada yang sudah P21 berkas perkara penyidikan lengkap."

Di tengah situasi yang disebutnya "ambigu" tersebut, Ema mengatakan ada baiknya memang diuji ke Mahkamah Konstitusi agar ada kejelasan soal tafsir pasal ini.

Apakah frasa barang siapa bisa mencakup orang tua kandung atau tidak.

Jika hakim konstitusi nantinya memutuskan frasa 'barang siapa' dapat menyasar ayah dan ibu kandung maka para penyelidik dan penyidik di lapangan tak akan lagi menolak laporan yang diadukan, klaimnya. Begitu juga jaksa dan hakim, menurutnya, akan menyeragamkan pemahaman.

"Asal jelas barang siapa meliputi tidak terkecuali orang tua kandung, maju jalan kami, enggak ada penolakan-penolakan lagi atas kasus-kasus begini."

Kini, sidang permohonan Angelia, Shelvia, dan tiga ibu tunggal lainnya bakal memasuki babak akhir di Mahkamah Konstitusi. Angelia, ibunda EJ, sangat berharap hakim MK mendengarkan suaranya, karena yang dia inginkan hanya agar anaknya ditemukan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved