Sumber foto: Google

Petualangan 100km Menelusuri Kerajaan Kuno Asia Tenggara

Tanggal: 6 Okt 2024 21:53 wib.
Jalur kuno yang membelah Kamboja ini dipenuhi jembatan lawas, kuil-kuil tua yang tidak banyak dikenal, dan rahasia ratusan tahun yang belum terungkap. Saya berangkat dengan minivan, pagi-pagi pada hari ulang tahun saya. Namun, pada etape terakhir perjalanan, saya membonceng seorang pria Kamboja yang menggunakan sepeda motor trail dan belum pernah saya temui sebelumnya.

Pukul 07:00, saya turun dari lift besi di Raffles Grand Hotel d'Angkor Siem Riep, seperti yang saya bayangkan dilakukan Jackie Kennedy selama kunjungannya di sini pada 1967. Saya lalu bertemu dengan pemandu saya, Pheakdey Dey Sieng dari operator tur About Asia.

Saya datang ke Siem Reap untuk menjelajahi East Royal Road, rute sepanjang 100 km yang menghubungkan kuil kuno Angkor Wat, Beng Mealea, dan Preah Khan Kompong Svay. Kekaisaran Khmer yang menguasai sebagian besar Asia Tenggara dari tahun 802-1431 M terkenal dengan kuil-kuilnya.

Namun sebagian besar kekuasaannya berasal dari sistem jalan sepanjang 3.000 km yang membentang dari ibu kota bersejarahnya, Angkor, hingga ke pelosok-pelosok wilayah kekuasaannya di Thailand, Vietnam, Laos, dan Myanmar modern.

Meskipun ada lima jalan kerajaan yang menghubungkan ibu kota dengan kota-kota provinsinya, Jalan Kerajaan Timur memiliki koleksi infrastruktur Khmer terbesar yang masih utuh, termasuk jembatan, kolam, tembok, dan tanggul. Ada pula kuil-kuil rumah peristirahatan yang tidak ditemukan di jalan-jalan lain, tempat para peziarah dapat makan, berdoa, dan tidur.

Jalan tersebut juga dipakai untuk mengangkut batu-batu yang digunakan untuk membangun kuil-kuil Khmer dan besi yang dibuat menjadi sistem pertahanannya.

Bangsa Khmer dikenal dengan sistem irigasi mereka yang canggih, dan jalan tersebut dipenuhi dengan jembatan-jembatan kuno yang melintasi sungai dan anak sungai. Sebagian besar jembatan itu masih digunakan sampai sekarang.

Rute ini dianggap sebagai perjalanan darat klasik bagi pengendara sepeda motor trail dan penggemar kuil. Perdana Menteri Hun Manet menominasikan Beng Mealea dan Preah Khan untuk dimasukkan sebagai situs Warisan Dunia Unesco. Situs-situs ini diperkirakan akan lebih populer ke depannya, maka saya ingin melihatnya saat masih belum terlalu terkenal.

Hanya ada satu masalah panasnya menyengat, Wisatawan disarankan untuk tidak datang ke Siem Reap pada bulan April karena cuacanya lebih panas dari Hades, dan ada pekan di mana terjadi gelombang panas dengan suhu mencapai lebih dari 40C, dengan indeks UV 12 pada skala 1-11+.

Rencananya, kami akan mengunjungi Preah Khan terlebih dahulu, lalu melanjutkan perjalanan ke Beng Mealea sebelum kembali ke Siem Reap. Berangkat dari Siem Reap melalui jalan tanah kuno (sekarang sebagian besar menelusuri Jalan Raya 6 yang beraspal), pemberhentian pertama kami, Kampong Kdei, adalah jembatan sepanjang 86 m yang ditopang oleh 21 lengkungan yang dibangun selama pemerintahan Jayavarman VII pada abad ke-12, penguasa Khmer yang paling hebat dan paling ambisius.

Jembatan berwarna karat ini menghiasi uang kertas 5.000 Riel Kamboja. Pagarnya mencolok berbentuk naga berkepala sembilan: makhluk setengah manusia dan setengah ular dalam mitologi yang melambangkan air dan kesuburan yang populer dalam karya seni Khmer.

"Selamat datang di jalan pijat gratis," kata Dey, saat kami berbelok ke jalan tanah yang bergelombang. Pijat? Saya malah merasa seperti dijatuhkan berulang kali dari jendela lantai dua.

Masih satu jam dari Preah Khan dan sekarang sudah tidak jauh dari jalan raya, pemandangan Kamboja yang lebih indah pun terlihat. Rumah-rumah semen digantikan oleh rumah-rumah kayu di atas panggung.

Seekor anak sapi dan induknya berjalan santai menyeberangi jalan yang berdebu dan anak-anak balita yang telanjang tersenyum dan melambaikan tangan. Menurut Dey, penduduk desa tersebut sebagian besar adalah petani yang menanam kacang mete, singkong, dan padi.

Dengan tulang-tulang yang bergetar hebat, kami tiba di Preah Khan. Tidak seperti Angkor Wat yang dikunjungi ribuan pengunjung setiap hari, hanya sedikit wisatawan yang berhasil sampai ke Preah Khan. Kami sesama wisatawan saling tersenyum saat berpapasan, seolah-olah kami mengetahui sebuah rahasia.

Dey menjelaskan bahwa kuil ini adalah kuil yang paling banyak dijarah oleh para penjelajah Prancis pada abad ke-19, kemudian oleh penduduk setempat pada abad ke-20.

Kuil ini bagai kebun binatang yang dipenuhi dengan ukiran angsa batu berkepala tiga, garuda (burung dewa), gajah, dan naga. Kami berhenti di patung Preah Chahtomukh setinggi 9,5 m yang telah dipugar, yang diukir dengan empat Buddha yang tersenyum menghadap ke setiap arah mata angin.

Pemandangan indah dari wajah-wajah yang tenang dan penuh teka-teki yang diukir di menara-menara batu besar membuat saya kagum, dan saya dapat mengerti mengapa sesama pelancong menyebutnya "Mona Lisa dari Asia Tenggara".

Makan siang adalah hidangan lezat berupa nasi dan ikan kering di gubuk beratap jerami di restoran setempat. "Jalur ini akan lebih baik jika ditempuh dengan sepeda motor trail," kata Dey, sebelum menjelaskan bahwa jalan dari Preah Khan ke desa Khvav hanya dapat dilalui dengan sepeda motor off-road dan gerobak sapi.

Untungnya, dia kebetulan mengenal dua orang pria yang dengan senang hati mengantar kami. Saya teringat dengan "efek ulang tahun", yang menyatakan bahwa, secara statistik, risiko kematian seseorang lebih tinggi ketika mendekati atau pada saat ulang tahun. Membonceng sepeda motor trail di sepanjang jalan berdebu, penuh gerobak sapi, dalam cuaca yang terik, mungkin tidak membantu peluang saya.

Pengemudi sepeda motor trail saya, Pak Cheat, tampak khawatir saat saya naik ke belakang sepeda motornya dan mencengkerem pegangan tangan erat-erat. Dey menyeringai nakal. Mesinnya menderu dan kami pun berangkat.

Meluncur melalui hutan, kami menghindari parit dan dahan pohon yang rendah. Kami melesat lancar melewati hutan, ladang, dan kadang ada traktor di jalan tanah liat yang padat sebelum berhenti di sisi jalan untuk menjelajahi reruntuhan yang jarang dikunjungi orang.

Jalan dari Preah Khan ke Beng Mealea dipenuhi dengan tempat peristirahatan yang disebut "rumah pemadam kebakaran" dan kuil rumah peristirahatan yang sedikit lebih besar. Para sejarawan masih berdebat mengenai fungsi tempat-tempat perhentian itu. Apakah fungsinya religius, sekuler atau keduanya? Karena aksesnya sulit, belum banyak riset dilakukan tentang tempat-tempat ini.

Kami berhenti di Sopheap Tbong yang mencerminkan desain semua rumah peristirahatan: dinding luar dengan gerbang besar mengarah ke ruang tengah yang diapit oleh dua galeri. Saya mengintip melalui jendela miring ke dalam ruangan sempit, membayangkan para pelancong dan peziarah kuno yang melepas lelah dari perjalanan panjang mereka melalui Kekaisaran Khmer yang luas.

Karena diyakini bahwa rata-rata pelancong Khmer dapat menempuh jarak 30 km per hari, rumah peristirahatan ini ditempatkan setiap 15 km agar para musafir bisa istirahat di siang dan sore hari.

Prasat Pram, rumah peristirahatan lainnya, sebagian besar berupa susunan batu-batu yang ditumbuhi tanaman rambat, tetapi jendela yang terpisah memperlihatkan pilar-pilar berukir yang berfungsi sebagai tirai jendela. Saya memang mengumpati suhu yang begitu panas, meski demikian saya bersyukur bahwa jalanan kering, karena melewati bekas roda gerobak sapi yang basah akan berbahaya.

Sebelum kami berangkat, saya bertanya kepada Dey mengapa kami tidak melihat gerobak sapi. Dia menjawab, "Terlalu panas untuk sapi."

Saya mencengkeram bahu Pak Cheat ketika kami kembali ke motor. "Satu kuil lagi", kata Dey. Dua puluh menit kemudian, saya berjalan dengan susah payah melewati balok-balok yang runtuh dari kuil api yang hancur, Prasat Ta En. Kemudian, saya berhenti untuk mengambil napas. Bagaimanapun, ini adalah tempat peristirahatan. Daun-daun berdesir dan saya menghirup aroma herba pepohonan, matahari mengintip melalui kanopi hutan. Tanpa campur tangan, tempat ini akan memudar dari ingatan. Kecuali beberapa bongkahan batu yang menjorok, reklamasi alam hampir selesai.

Kami kemudian berkendara ke jembatan terakhir, Spean Ta Ong, tempat istirahat yang menyenangkan dari jalan yang berlubang. Dengan panjang lebih dari 70 m, jembatan yang diukir dengan indah ini mengesankan, sekaligus indah, terutama dengan pagar tangga naga yang bersinar seperti terbakar di bawah cahaya sore.

Di Khvav, petualangan sepeda motor trail saya berakhir setelah 30 km. Saya mengucapkan selamat tinggal kepada Pak Cheat dan naik kembali ke mobil ber-AC bersama Dey. Kami berada 20 km dari Bang Mealea, yang akan tutup dalam 15 menit.

Kami datang terlambat, tetapi setelah Dey memberikan $5 kepada pemandu yang sedang menikmati bir setelah jam kerja, kami boleh masuk Beng Mealea yang sepi tanpa pengunjung lain.

Dibangun pada waktu yang sama dengan Angkor Wat, banyak yang percaya Beng Mealea adalah prototipe ibu kota. Kuil ini misterius, romantis, dan hampir tak tersentuh. Pohon kapas sutra melilit reruntuhan batu, akarnya menyebar di tanah seperti cakar rakus kadal raksasa, sementara pohon ara tampak seperti sedang mencoba menggali tanah untuk mendapatkan kembali tempatnya di dunia bawah.

Di sekitar halaman terdapat tumpukan besar balok batu pasir, banyak yang dihiasi dengan ukiran yang rumit. Kami mengikuti jalan setapak kayu yang berkelok-kelok melalui reruntuhan (yang ternyata dibangun untuk lokasi syuting film Two Brothers tahun 2004, yang dibintangi Guy Pierce).

Di antara puing-puing di dinding, terdapat sebuah mahakarya yang ditutupi lumut: 'Pengadukan Lautan Susu', sebuah adegan dari legenda Hindu yang menggambarkan tarik-menarik antara dewa dan setan untuk mendapatkan ramuan keabadian.

Setelah satu jam, kami kembali ke Siem Reap dan mampir ke kantor About Asia. Dengan berlumuran lumpur, saya mengobrol dengan Silen Truy, salah satu sedikit pemandu perempuan.

Ketika saya bertanya mengapa dia tidak memandu saya, dia tertawa dan berkata, "Sepeda motor trail. Itu urusan pria." Saya kembali ke Raffles dengan penampilan yang lebih mirip Bear Grylls daripada Jackie Kennedy. Duri mencuat dari rambut saya; tanah mengotori muka, dan ketika melepas kaus kaki, kaki saya sudah 12 tingkat lebih gelap daripada kaki yang terlindung kaos kaki.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved