Sumber foto: Google

Pergub Poligami ASN Jakarta Tuai Polemik, Pengamat Jangan Jadikan Alasan Selingkuh

Tanggal: 20 Jan 2025 10:00 wib.
Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Jakarta menuai polemik di tengah masyarakat. Pergub ini secara khusus mengatur tata cara dan syarat yang harus dipenuhi ASN jika ingin berpoligami. Meski bertujuan untuk memberikan kerangka hukum yang jelas, regulasi ini memicu pro dan kontra, terutama karena potensi penyalahgunaannya.

Pengamat kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai bahwa Pergub ini sebenarnya memberikan syarat yang berat bagi ASN yang ingin berpoligami. “Pergub ini mengatur secara ketat, sehingga hanya kasus tertentu yang memenuhi syarat, seperti ketidakmampuan istri menjalankan kewajiban atau tidak memiliki keturunan,” ujarnya.


Syarat Ketat dalam Pergub


Pergub Nomor 2 Tahun 2025 mengacu pada aturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur bahwa seorang suami dapat berpoligami hanya dengan alasan tertentu, seperti:


Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
Istri tidak memiliki keturunan setelah beberapa tahun pernikahan.
Istri menderita cacat fisik atau penyakit tertentu yang membuatnya tidak dapat menjalankan peran sebagai pasangan.


Selain itu, ASN yang mengajukan izin poligami harus mendapatkan persetujuan tertulis dari istri pertama serta izin tertulis dari atasan langsung. Proses ini dirancang untuk memastikan bahwa poligami bukan dilakukan sembarangan atau tanpa dasar yang sah.

Meski telah diatur dengan ketat, banyak pihak yang meragukan efektivitas Pergub ini. Achmad Nur Hidayat mengingatkan agar aturan ini tidak disalahgunakan sebagai alasan untuk melegitimasi perselingkuhan. Menurutnya, sebagian besar kasus poligami di kalangan ASN bukan disebabkan oleh alasan yang diatur dalam undang-undang, melainkan karena motif pribadi yang tidak relevan.

“Praktik poligami di kalangan ASN sering kali didasari oleh keinginan pribadi, bukan karena kebutuhan yang sesuai dengan aturan hukum. Jangan sampai Pergub ini menjadi celah untuk membenarkan tindakan tidak etis, seperti selingkuh,” tegas Achmad.

Publik pun terpecah dalam menyikapi Pergub ini. Sebagian mendukung regulasi tersebut karena dianggap memberikan panduan hukum yang jelas dan melindungi hak-hak perempuan, khususnya istri pertama. Namun, tidak sedikit yang mengkritik aturan ini sebagai langkah mundur yang berpotensi merusak institusi pernikahan.

Kelompok aktivis perempuan, misalnya, menyatakan kekhawatiran bahwa aturan ini dapat memperburuk ketidaksetaraan gender. “Meski ada syarat ketat, tetap saja poligami menempatkan perempuan pada posisi yang rentan, terutama jika tekanan sosial atau budaya ikut memengaruhi keputusan mereka untuk menyetujui poligami,” ujar salah satu perwakilan organisasi perempuan di Jakarta.

Achmad Nur Hidayat menekankan bahwa regulasi ini harus disertai pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Ia juga menyarankan agar pemerintah fokus pada edukasi mengenai pentingnya membangun pernikahan yang sehat dan harmonis. “Poligami bukan solusi atas masalah pribadi atau keluarga. ASN sebagai abdi negara seharusnya menjadi teladan dalam menjaga etika dan moralitas,” tambahnya.

Pergub Poligami ASN Jakarta menghadirkan tantangan baru dalam mengatur kehidupan pribadi para pegawai negeri. Meskipun dirancang dengan syarat yang ketat, implementasi dan pengawasan tetap menjadi kunci agar aturan ini tidak disalahgunakan. Pada akhirnya, poligami harus dipandang sebagai pilihan terakhir yang hanya dilakukan dalam kondisi tertentu, bukan sebagai celah untuk membenarkan tindakan yang merusak integritas pernikahan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved