Pengacara, Dokter ARL Diminta Pesan 80 Nasi Box Tiap Hari Hingga Bayar Jurnal untuk Atasan
Tanggal: 10 Sep 2024 09:38 wib.
Dokter ARL, seorang dokter yang sedang mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, kini tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan netizen. Kabar tersebut bermula dari kejadian tidak biasa yang menimpanya, dimana ia diminta untuk angkat-angkat galon dan memesan 80 nasi box setiap harinya untuk kepentingan atasannya di rumah sakit tempat dia melaksanakan pendidikan.
Mengikuti PPDS Anestesiologi tak bisa dipandang sebelah mata. Proses belajar yang intens dan sibuk tentu menjadi hal wajar mengingat bidang spesialis tersebut memang membutuhkan fokus dan konsentrasi yang tinggi. Namun, apa yang dialami oleh Dokter ARL merupakan fenomena yang cukup mengundang pertanyaan.
Menurut beberapa sumber, Dokter ARL tidak hanya harus fokus pada pendidikannya, tetapi juga harus meluangkan waktunya untuk menyelesaikan tugas tambahan yang di luar scope dari pendidikan dokter spesialis. Salah satu tugasnya adalah memesan 80 nasi box setiap harinya untuk keperluan atasan, bukan hanya itu saja, Dokter ARL juga diminta untuk angkat-angkat galon air mineral secara rutin, Selain itu, dokter ARL juga diminta menyetorkan dan mengumpulkan uang untuk membayar orang yang mengerjakan jurnal milik atasan.
Dalam sebuah wawancara, Misyal mengatakan, korban juga dipaksa bekerja mulai pukul 03.00 WIB hingga pukul 01.30 WIB saat praktik di RSUP Kariadi.Hal itu, imbuhnya, membuat dokter ARL pernah jatuh masuk ke selokan dan membuat saraf korban terjepit. ARL juga sampai dioperasi sebanyak dua kali.
Dokter ARL mengaku bahwa tugas tambahan tersebut sangat membebani dirinya, terlebih di tengah kesibukan yang dialaminya sebagai seorang dokter yang sedang menekuni pendidikan spesialis. Ia menyayangkan kondisi tersebut dan berharap ada pengertian lebih dari pihak atasan terkait beban tambahan yang diberikan.
Fenomena ini pun mendapat respons dari berbagai kalangan. Banyak yang mengecam perlakuan tersebut, menganggap bahwa tugas tambahan yang dialami oleh Dokter ARL seharusnya tidak seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai pendidik. Sebagai seorang dokter yang masih dalam proses belajar untuk menjadi seorang spesialis yang berkualitas, dipercayakan tugas sebesar itu di luar ranah pendidikannya dinilai tidak adil.
Di sisi lain, ada juga yang menanggapi fenomena ini dengan penuh kehati-hatian. Beberapa pihak menyarankan agar Dokter ARL tetap menjalankan tugas tambahan tersebut dengan sebaik-baiknya guna menghindari konflik yang lebih besar. Namun, pandangan ini juga diiringi dengan harapan akan adanya pemahaman dari pihak yang memberikan tugas tambahan tersebut.
Pengaturan waktu yang ketat, tuntutan pekerjaan yang tinggi, serta beban tambahan yang membebani ternyata masih menjadi kendala yang dihadapi oleh sebagian besar dokter yang sedang mengikuti pendidikan spesialis. Fenomena yang dialami oleh Dokter ARL menjadi sebuah cerminan dari kondisi sebenarnya yang dituding sebagai ketidakadilan dalam dunia pendidikan kedokteran.
Dalam kasus ini, perlunya adanya kebijakan yang jelas dan adil terkait tanggung jawab tambahan yang diberikan kepada para dokter yang tengah menempuh pendidikan spesialis. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan menjamin kesejahteraan para dokter yang sedang menjalani pendidikan di tengah tuntutan kerja yang semakin tinggi.
Demi menjaga keseimbangan antara proses pendidikan yang berkualitas dan beban kerja tambahan yang diberikan kepada dokter yang tengah menjalani pendidikan, perlu adanya regulasi yang mengatur dengan jelas mengenai tanggung jawab tambahan yang diberikan kepada para dokter ARL dan dokter-dokter lainnya yang sedang dalam proses pendidikan spesialis. Semoga fenomena yang dialami oleh Dokter ARL dapat menjadi momentum untuk perubahan yang lebih baik di masa depan.