Pemikiran Existensialisme: Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Pencarian Makna
Tanggal: 1 Jun 2025 09:57 wib.
Dalam kancah filosofi modern, tidak banyak aliran pemikiran yang mampu mengguncang dan menantang pandangan kita tentang keberadaan seperti Eksistensialisme. Aliran ini, yang berkembang pesat pada abad ke-19 dan ke-20, bukanlah sekadar teori abstrak, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang pengalaman manusia yang fundamental. Eksistensialisme menempatkan kebebasan individu pada inti keberadaan, menyoroti tanggung jawab yang tak terhindarkan yang datang bersamanya, dan memaksa kita untuk menghadapi pencarian makna dalam dunia yang pada dasarnya acuh tak acuh.
Eksistensi Mendahului Esensi: Sebuah Paradigma Baru
Pilar utama pemikiran eksistensialisme, yang dipopulerkan oleh Jean-Paul Sartre, adalah gagasan bahwa "eksistensi mendahului esensi." Ini berarti bahwa manusia pertama-tama ada (eksistensi), dan setelah itu, kita mendefinisikan diri kita sendiri melalui pilihan dan tindakan kita (esensi). Berbeda dengan pandangan tradisional yang percaya bahwa manusia diciptakan dengan sifat atau tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya (misalnya, esensi ilahi), eksistensialis berpendapat bahwa kita lahir tanpa esensi. Kita adalah "kertas kosong" yang harus kita tulis sendiri.
Konsekuensi dari ini adalah kebebasan individu yang absolut. Jika tidak ada esensi bawaan atau cetak biru ilahi, maka kita sepenuhnya bebas untuk menjadi apa pun yang kita pilih. Tidak ada yang mendikte jalan hidup kita, tidak ada Tuhan, tidak ada takdir, tidak ada sifat manusia universal yang mengikat. Kebebasan ini, meskipun membebaskan, juga membawa beban yang luar biasa.
Beban Kebebasan dan Kutukan Tanggung Jawab
Dengan kebebasan absolut datanglah tanggung jawab yang mutlak pula. Karena kita adalah satu-satunya yang menciptakan esensi kita, kita sepenuhnya bertanggung jawab atas setiap pilihan, tindakan, dan bahkan ketidak-tindakan kita. Sartre menyebutnya sebagai "kutukan kebebasan" (atau "dikutuk untuk bebas"). Ini bukan sekadar tanggung jawab personal; setiap pilihan yang kita buat adalah pilihan untuk seluruh umat manusia, karena kita memilih nilai-nilai yang kita yakini harus berlaku secara universal.
Perasaan ini seringkali menimbulkan kecemasan dan ketakutan mendalam, yang disebut angst oleh Søren Kierkegaard. Angst bukan hanya ketakutan akan sesuatu yang spesifik, melainkan kecemasan eksistensial yang muncul dari kesadaran akan kebebasan total dan tanggung jawab yang menyertainya. Manusia seringkali mencoba melarikan diri dari angst ini dengan hidup dalam "ketidakotentikan" atau "penipuan diri" (bad faith), yaitu dengan menyalahkan keadaan, masyarakat, atau takdir atas pilihan yang sebenarnya adalah milik kita sendiri. Namun, bagi eksistensialis, hidup yang otentik adalah hidup yang menerima beban kebebasan dan tanggung jawab ini dengan berani.
Pencarian Makna di Dunia yang Absurd
Jika tidak ada makna yang telah ditentukan sebelumnya, maka manusia dihadapkan pada pencarian makna di dunia yang seringkali terasa absurd. Albert Camus, salah satu pemikir eksistensialis, menggambarkan dunia sebagai tempat yang acuh tak acuh terhadap keinginan dan pertanyaan manusia. Ini adalah "absurditas" – konflik antara keinginan bawaan manusia untuk menemukan makna dan keheningan alam semesta yang menolak untuk memberikan makna itu.
Namun, eksistensialisme bukanlah filosofi keputusasaan. Meskipun makna tidak ditemukan, ia harus diciptakan. Setiap individu memiliki kesempatan dan keharusan untuk menciptakan nilai-nilai dan tujuan mereka sendiri. Makna ditemukan dalam proyek-proyek yang kita kejar, hubungan yang kita bangun, dan cara kita merespons absurditas keberadaan. Ini adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan komitmen dan keberanian untuk terus maju, bahkan tanpa jaminan hasil.
Relevansi Eksistensialisme di Era Modern
Pemikiran eksistensialisme masih sangat relevan di era modern. Di tengah masyarakat yang semakin kompleks dan beragam, eksistensialisme mengajak kita untuk:
Mengambil kendali: Menyadari bahwa kita adalah agen bebas dan bertanggung jawab atas hidup kita sendiri, bukan korban keadaan.
Hidup otentik: Jujur pada diri sendiri dan nilai-nilai yang kita pilih, bukan mengikuti kerumunan atau konvensi semata.
Menciptakan nilai: Menemukan atau menciptakan makna pribadi yang mendorong kita, alih-alih menunggu makna diberikan dari luar.
Menghadapi kecemasan: Mengakui angst sebagai bagian alami dari keberadaan yang bebas, dan menggunakannya sebagai pemicu untuk bertindak.
Pada akhirnya, pemikiran eksistensialisme adalah sebuah panggilan untuk bertindak, untuk menerima kebebasan kita dengan segala tanggung jawabnya, dan untuk dengan berani menghadapi pencarian makna dalam sebuah keberadaan yang tak terbatas. Ini adalah sebuah filosofi yang kuat yang mendorong kita untuk hidup secara penuh, otentik, dan berani.