Pemasangan Chattra Dikhawatirkan Kurangi Keaslian Candi Borobudur
Tanggal: 9 Sep 2024 05:50 wib.
Rencana pemasangan chattra di puncak stupa utama Candi Borobudur telah menjadi topik hangat dalam sejumlah komunitas sejarah. Borobudur, sebagai situs warisan dunia, telah menjadi pusat perhatian dan perdebatan terkait dengan pelestariannya. Salah satu rencana kontroversial yang sedang berkembang adalah pemasangan chattra di puncak stupa utama Candi Borobudur. Sejumlah pihak mulai peduli atas kemungkinan dampak pemasangan chattra ini terhadap keaslian situs bersejarah ini.
Chattra ini sebenarnya pernah dipasang oleh Theodoor van Erp, seorang arsitek Belanda yang memimpin pemugaran Candi Borobudur antara tahun 1907-1911. Namun, pasangannya saat itu telah lama hilang dan tidak dipasang kembali dalam upaya pemugaran terakhir pada tahun 1973-1983. Chattra tersebut telah menjadi bagian dari sejarah pemugaran Candi Borobudur. Chattra atau payung memiliki catatan sejarah dan dasar filosofi yang sangat mendalam di dalam Buddhisme, di Candi Borobudur relief yang menggambarkan adanya payung atau chattra salah satunya yakni pada relief Gandawyuha.
Sejumlah ahli sejarah dan Para arkeolog mulai mempertanyakan keputusan untuk memasang kembali chattra di puncak stupa utama Candi Borobudur. Mereka berpendapat bahwa tindakan tersebut dapat mengurangi keaslian dan nilai sejarah dari Candi Borobudur mengingat keaslian batu penyusunnya masih diragukan. Selain itu, upaya pemugaran sebelumnya juga lebih menekankan pada prinsip restorasi, bukan rekonstruksi.
Pendapat yang menyatakan bahwa chattra menurunkan keaslian situs kuno ini tidak datang dari kalangan yang sempit. Melainkan telah menjadi perdebatan terbuka. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran akan merusak nilai autentik dari Candi Borobudur. Situs ini menjadi simbol budaya, agama, dan sejarah bagi masyarakat Indonesia.
Peroalan seputar chattra ini pun tidak hanya mencakup keaslian sejarah, tetapi juga mencakup aspek spiritualitas dan kepercayaan masyarakat lokal. Candi Borobudur adalah salah satu situs suci bagi umat Buddha di Indonesia. Tindakan memasang kembali chattra di puncak stupa utama bisa dianggap sebagai intervensi terhadap nilai religius dan spiritualitas dari situs ini.
Di samping itu, rencana pemasangan chattra juga menimbulkan pertanyaan terkait proses konsultasi dan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan terhadap pelestarian Candi Borobudur. Sebagai warisan dunia yang telah menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Indonesia, partisipasi masyarakat dalam keputusan terkait pelestarian situs seharusnya menjadi hal yang sangat penting.
Namun, para pendukung pemasangan chattra menegaskan bahwa tindakan ini akan memperindah penampilan Candi Borobudur dan mengembalikan keindahan aslinya. Mereka juga berargumen bahwa chattra merupakan bagian integral dari struktur asli Candi Borobudur yang telah ada sejak dulu, dan pemasangannya dapat dianggap sebagai restorasi yang seharusnya dilakukan.
Selain itu, pendukung pemasangan chattra juga mengklaim bahwa tindakan ini dapat meningkatkan keamanan dan perlindungan terhadap stupa utama Candi Borobudur. Dalam konteks pelestarian, perlindungan fisik dari situs sejarah ini menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan dari waktu ke waktu.
Polemik terkait rencana pemasangan chattra di puncak stupa utama Candi Borobudur menjadi perdebatan yang kompleks dan menarik. Pihak terkait, baik dari pemerintah, pakar sejarah, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak terkait lainnya, diharapkan untuk dapat mencapai kesepakatan yang mempertimbangkan semua aspek terkait kepentingan pelestarian dan keberlangsungan sejarah Candi Borobudur. Keputusan terkait hal ini tentu harus didasarkan pada kajian yang mendalam dan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dan para ahli terkait.
Kesimpulan:
Dalam era perubahan dan modernisasi, pelestarian situs sejarah menjadi suatu tantangan yang kompleks. Dalam hal ini, polemik terkait rencana pemasangan chattra di puncak stupa utama Candi Borobudur menjadi suatu contoh yang menggambarkan kompleksitas pelestarian situs warisan dunia. Keputusan terkait hal ini harus didasarkan pada kajian yang mendalam dan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dan para ahli terkait.