Pasal Penyediaan Alat Kontrasepsi Bagi Usia Sekolah Dan Remaja Dalam PP Kesehatan Menuai Polemik
Tanggal: 7 Agu 2024 15:11 wib.
Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan yang baru-baru ini didengungkan menuai kontroversi. Ada satu pasal yang menyebut penyediaan alat kontrasepsi bagi kelompok usia sekolah dan remaja mengundang polemik tajam di masyarakat.
PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tentang Kesehatan itu mencakup beberapa program kesehatan termasuk kesehatan sistem reproduksi, pasal 103 mengenai upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja memunculkan polemik khususnya Ayat (4) butir "e"yaitu penyediaan alat kontrasepsi.
Netty Prasetiyani, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (RI) di Komisi IX yang membidangi kesehatan dan kependudukan, dalam pernyataannya menyebut PP yang ditandatangani pada Jumat (26/07) itu “dapat menimbulkan anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja”.
“Aneh kalau anak usia sekolah dan remaja mau dibekali alat kontrasepsi. Apakah dimaksudkan untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan?” ujar Netty pada Minggu (04/08), Berdasarkan isi dari dokumen regulasi tersebut, bagian “penyediaan alat kontrasepsi” dalam konteks usia sekolah dan remaja tidak dijelaskan lebih lanjut.
Meski begitu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, ketika dihubungi menegaskan pelayanan kontrasepsi “bukan untuk semua remaja” melainkan “remaja yang sudah menikah tetapi menunda kehamilan”.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengatakan pihaknya selama ini menyasar pasangan suami istri atau yang dirujuk sebagai “pasangan usia subur” untuk pemberian alat kontrasepsi.
Adapun untuk usia sekolah dan remaja, Hasto menekankan yang dilakukan selama ini adalah pemberian edukasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi dan bukannya pemberian alat kontrasepsi, Hasto menekankan pihaknya akan “duduk bersama” dengan Kementerian Kesehatan juga berbagai pakar termasuk tokoh agama untuk merumuskan aturan tersebut secara teknis.
“Di Indonesia ini, kan, norma agama. Sehingga akhirnya biasanya kita menerjemahkannya kita pertimbangkan dari segenap tokoh agama seperti Majelis Ulama,” tegasnya.
Aktivis dan konsultan gender, Tunggal Pawestri, menyatakan tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan mengenai pelaksanaan PP tersebut.
“Siapa sih yang enggak tahu kalau di Indonesia, hampir semua hal selalu dikaitkan dengan agama? Tapi jangan sampai kita tutup mata dan tidak peduli dengan fakta dan data di lapangan bahwa banyak remaja sudah aktif secara seksual,” ujarnya.
Ini bukanlah yang pertama kalinya pemerintah menuai kritik ihwal kebijakan yang berkenaan dengan pelayanan alat kontrasepsi.
Pada tahun 2012, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi saat itu menegaskan aksi terobosan dan kampanye penggunaan penting mengingat jumlah orang yang terinfeksi HIV di Indonesia saat itu jumlahnya cukup besar yakni 1,8 juta jiwa, mengakses salinan PP Nomor 28 Tahun 2024 pada Minggu (04/08). Selain program-program lain seperti terkait penyandang disabilitas, pengamanan zat adiktif, dan pelayanan kesehatan tradisional, PP Kesehatan itu juga mengatur mengenai kesehatan reproduksi.
Pasal 102 mengatur tentang upaya kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah yang fokus terhadap edukasi mengenai organ reproduksi – termasuk edukasi bagi anak untuk “menolak sentuhan terhadap organ reproduksi dan bagian tubuh yang dilarang untuk disentuh”.
Pasal 103 mengatur upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja. Ayat (2) di Pasal 103 mengatur tentang pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kesehatan reproduksi termasuk perilaku seksual berisiko dan menjaga kesehatan reproduksi.
Pasal 103 Ayat (3) menyebut pemberian pendidikan ini dapat diberikan melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah dan luar sekolah.
Pasal 103 Ayat (4) menyebut sejumlah pelayanan kesehatan reproduksi usia sekolah dan remaja termasuk deteksi dini penyakit, pengobatan, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi.
Bagian penyediaan alat kontrasepsi pada usia sekolah dan remaja ini tidak dijelaskan lebih lanjut di pasal 103. Sementara di Pasal 104, yang mengatur pelayanan kesehatan reproduksi usia dewasa, penyediaan alat kontrasepsi secara jelas disebutkan bagi pasangan usia subur dan kelompok berisiko.
Patut dicatat bahwa norma dan agama juga tertera pada PP tentang Kesehatan ini.
Pasal 98 di dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan menyebut upaya kesehatan reproduksi “dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.”
Adapun Pasal 108 dalam PP tersebut juga menyebut “lembaga keagamaan, rumah ibadah, atau kantor urusan agama” sebagai tempat-tempat program kesehatan reproduksi selain fasilitas pelayanan kesehatan.
Kenapa pasal penyediaan kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja menuai polemik?
Netty Prasetiyani, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (RI) di Komisi IX yang membidangi kesehatan dan kependudukan, dalam pernyataannya menyebut PP yang ditandatangani pada tanggal 27 Juli tersebut “dapat menimbulkan anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja”.
“Aneh kalau anak usia sekolah dan remaja mau dibekali alat kontrasepsi. Apakah dimaksudkan untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan?” ujar anggota Partai Keadilan Sejahtera itu pada Minggu.
“Pasal 103 ayat 4 disebutkan bahwa dalam hal pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja ada penyebutan penyediaan alat kontrasepsi. Apakah dimaksudkan untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan?”
Selain itu, Netty juga mempertanyakan adanya kalimat “perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab” di usia anak sekolah dan remaja dalam PP Kesehatan.
“Perlu dijelaskan apa maksud dan tujuan dilakukannya edukasi perilaku seksual yang sehat, aman dan bertanggungjawab. Apakah ini mengarah pada pembolehan seks sebelum nikah asal bertanggungjawab?” ujarnya.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, ketika dihubungi menegaskan pelayanan kontrasepsi “bukan untuk semua remaja” melainkan “remaja yang sudah menikah tetapi menunda kehamilan”.
Netty menekankan kepada pemerintah untuk berhati-hati dalam membuat pasal yang dapat ditafsirkan secara liar oleh masyarakat. Dia pun mendesak agar PP tersebut segera direvisi.
“Harus ada kejelasan soal edukasi seputar hubungan seksual yang mana tidak boleh terlepas dari nilai-nilai agama dan budaya yang dianut bangsa,” tambahnya.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendefinisikan pasangan usia subur (PUS) sebagai pasangan suami istri yang istrinya berumur antara 15-49 tahun, atau istri berumur kurang dari 15 tahun dan telah kawin dan sudah menstruasi, atau istri berumur lebih dari 49 tahun tetapi belum menopause. Nadia menjelaskan Kementerian Kesehatan akan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang memperjelas aturan tersebut.
“Permenkes masih dalam penyusunan. Tetapi akan segera diterbitkan supaya program bisa jalan,” ujarnya.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengatakan sasaran pihaknya dalam pemberian alat kontrasepsi selama ini adalah pasangan suami istri atau yang oleh BKKBN dirujuk sebagai pasangan usia subur, sementara untuk usia sekolah dan remaja, Hasto mengatakan yang dilakukan selama ini adalah pemberian edukasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi dan bukannya pemberian alat kontrasepsi.
Aktivis dan konsultan gender, Tunggal Pawestri, mengapresiasi terbitnya PP Nomor 28 tahun 2024 yang memuat hak-hak kesehatan reproduksi bagi anak dan remaja, menurut Tunggal, peraturan pemerintah ini sungguh diperlukan “mengingat tingginya angka kehamilan tidak diinginkan yang juga berpengaruh terhadap tingginya stunting”.
Di sisi lain, Tunggal mengaku skeptis mengenai apakah PP Nomor 28 Tahun 2024 ini akan benar-benar dilaksanakan di lapangan.
“Kita juga sudah punya PP Kesehatan Reproduksi Nomor 61 Tahun 2014, tapi tetap saja remaja masih kesulitan mengakses informasi apalagi layanan kesehatan yang ramah,” ujar Tunggal.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 mengenai Kesehatan Reproduksi juga mengatur pelayanan kesehatan reproduksi remaja di Pasal 11 dan Pasal 12. Walaupun begitu, kedua pasal itu tidak secara gamblang menyebut penyediaan pelayanan kontrasepsi terhadap remaja.
“Kita lihat saja nanti prakteknya, saya yakin bahwa pemerintah tidak akan secara serius implementasikan ini di lapangan, dan nanti jika ditanya atau ditagih, kita rasanya bisa menduga apa jawaban mereka. Banyak kok contohnya indah di kertas, nol besar di pelaksanaan,” tukas Tunggal.
Disinggung mengenai pelaksanaan PP Nomor 28 Tahun 2024 dalam konteks kaidah-kaidah agama, Tunggal mengatakan tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan.
“Siapa sih yang enggak tahu kalau di Indonesia, hampir semua hal selalu dikaitkan dengan agama? Tapi jangan sampai kita tutup mata dan tidak peduli dengan fakta dan data di lapangan bahwa banyak remaja sudah aktif secara seksual,” ujarnya.
Sementara itu, psikolog anak dan remaja Grace Eugenia Sameve menyambut baik adanya PP Nomor 28 Tahun 2024 dan berpikir lebih positif. Dia menyebut seksualitas merupakan suatu faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia sejak lahir .
“Maka upaya untuk merawat [kesehatan reproduksi] perlu diupayakan serta dikenalkan sejak dini, tentunya perlu disesuaikan dengan usia atau tahap perkembangan anak,” ujarnya.
“PP ini merupakan satu upaya yang patut didukung walaupun tentunya keberhasilan akan sangat membutuhkan implementasi dari berbagai pihak.”
Di sisi lain, Grace menyebut PP Nomor 28 Tahun 2024 bisa menjadi acuan untuk memastikan setiap anak dan remaja mendapat informasi dan akses layanan yang setara terlepas dari latar belakang maupun lokasi geografis mereka.
“‘Penyediaan alat kontrasepsi’ bisa menjadi upaya yang bermanfaat untuk populasi tertentu saat ini. Jika misalnya, ke depannya dinilai tidak relevan, maka bisa direvisi kembali,” ujarnya.
“Mengingat tujuannya baik, semoga selama prosesnya kita semua selalu saling melindungi dan memikirkan kepentingan terbaik dari satu sama lain,” ujarnya.