Pameran Tunggal Yos Suprato Dibredel, Galer Nasional Buka Suara
Tanggal: 22 Des 2024 15:03 wib.
Galeri Nasional Indonesia buka suara terkait munculnya isu pembredelan pameran tunggal seni rupa karya Yos Suprapto, berjudul "Kebangkitan Tanah untuk Kedaulatan Pangan" IHA Zamrud Setya Negara menyatakan kasus ini terjadi karena tidak adanya titik temu yang bisa ditempuh antara sang kurator Suwarno Wisetrotomo dan Yos Suprapto.
Kontroversi mengenai seni rupa kembali mencuat di Indonesia, kali ini melibatkan Pameran Tunggal Yos Suprapto yang dibredel oleh Galeri Nasional Indonesia. Kejadian ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan pecinta seni rupa serta masyarakat umum. Galeri Nasional Indonesia buka suara terkait munculnya isu ini, menyatakan bahwa kasus ini terjadi karena tidak adanya titik temu yang bisa ditempuh antara sang kurator Suwarno Wisetrotomo dan Yos Suprapto.
Pameran tunggal seni rupa merupakan suatu wadah bagi seniman untuk berkreasi dan mengekspresikan gagasan serta karyanya kepada publik. Namun, kasus pembredelan pameran Yos Suprapto menunjukkan bahwa kontroversi dalam dunia seni rupa tak jarang terjadi. Melalui pernyataan resminya, IHA Zamrud Setya Negara menyampaikan bahwa tidak ada kesepakatan antara kurator dan seniman terkait tata cara penyelenggaraan pameran ini. Hal ini mengakibatkan galat komunikasi serta ketidaksesuaian yang berujung pada pembredelan pameran yang seharusnya menjadi ajang apresiasi seni.
Isu ini mencuat pertama kali setelah Yos Suprapto, seniman kontemporer yang berbasis di Yogyakarta, menyampaikan keluhannya kepada publik terkait penghentian paksa pameran tunggalnya di Galeri Nasional. Seniman yang dikenal dengan karya-karyanya yang penuh kritik sosial ini menyatakan bahwa kurator tidak memahami konsep serta pesan yang ingin disampaikan melalui karyanya. Di sisi lain, kurator Suwarno Wisetrotomo menegaskan bahwa perbedaan pendapat tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cara yang baik sehingga pameran tersebut harus dibredel.
Tentu saja, kasus ini memantik perbincangan hangat di kalangan pecinta seni rupa maupun komunitas seniman. Banyak yang menyayangkan pembredelan pameran Yos Suprapto ini, menganggap bahwa seni rupa seharusnya menjadi ruang untuk berdialog dan berekspresi tanpa batasan. Namun, di sisi lain, ada pula yang mendukung langkah Galeri Nasional Indonesia dengan alasan bahwa setiap pameran seni rupa harus tetap memperhatikan nilai-nilai etika serta norma yang berlaku dalam masyarakat.
Meskipun mendapat respons yang beragam, isu ini membuka peluang untuk meninjau kembali sistem perencanaan dan penyelenggaraan pameran seni rupa di Indonesia. Diperlukan adanya kerjasama yang lebih baik antara kurator dan seniman dalam menentukan konsep serta pesan yang ingin disampaikan melalui pameran. Sehingga, akan tercipta pameran seni rupa yang memberikan manfaat positif bagi publik, serta memberikan ruang bagi seniman untuk berkarya dengan bebas.
Galeri Nasional Indonesia buka suara terkait pembredelan pameran tunggal Yos Suprapto menjadi pemicu untuk refleksi lebih jauh terkait penyelenggaraan pameran seni rupa di tanah air. Semoga ke depannya, peristiwa serupa tidak terulang kembali, dan para seniman serta kurator dapat mencari titik temu yang memberikan manfaat bagi pengembangan seni rupa di Indonesia.