Orang Tegal : Ora Ngapak Ora Kepenak! Sung?
Tanggal: 3 Agu 2017 23:09 wib.
Akhir-akhir ini saya sering mendengar orang-orang berbicara mengenai slogan yang artinya "tidak ngapak, tidak enak." tersebut. Baik kawan-kawan saya dari Tegal maupun kota-kota ngapak lain seperti Purwokerto, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan lain-lain. Tapi pada kenyataannya, penggunaan bahasa daerah seperti bahasa ngapak tersebut kini semakin jarang digunakan dan semakin kalah populer dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari di kota saya, Kota Tegal.
Bahasa Tegalan adalah salah satu rumpun dari Bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan) yang digunakan di wilayah Kota Tegal dan sekitarnya. Letak Kota Tegal yang berada di dekat perbatasan barat Jawa Tengah dan pesisir pantai utara membuat Bahasa Tegal memiliki keunikan tersendiri dibanding bahasa jawa lainnya. Terutama Bahasa Jawa wetanan (Surakarta dan Yogyakarta). Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Tegalan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Tegalan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Tegalan dibaca enak dengan suara huruf 'k' yang jelas.
Menurut sejarah, perbedaan Bahasa Tersebut dipengaruhi oleh jauhnya jarak Tegal dari pusat kerajaan Mataram yang mulai menggunakan dialek 'O' dan mulai membedakan kelas bahasa jawa menjadi ngoko, madya, dan krama sebagai bentuk feodalisme dan menganggap bahwa bahasa jawa baru tersebut adalah bahasa bangsawan dan bahasa berkelas tinggi. Sedangkan di Tegal sendiri, pengaruh kerajaan Mataram tidak begitu besar sehingga perubahan bahasa dari dialek 'a' menjadi 'o' tidak berlaku di Tegal. Selain itu, bahasa Tegal juga tidak mengenal dikotomi Bahasa Jawa seperti ngoko, madya, dan krama. Hal ini membuat bahasa yang digunakan masyarakat Tegal berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh Keraton. Akibatnya, bahasa Tegalan dianggap menjadi bahasa kelas rendahan yang digunakan petani, penduduk desa, dan pedagang-pedagang. Bahasa Tegalan juga dianggap bahasa yang kasar dan tidak tahu tata krama.
Hingga saat ini, pelajaran muatan lokal yang dipakai di sekolah-sekolah di Tegal adalah pelajaran Bahasa Jawa wetanan yang dipakai oleh orang-orang Semarang-Surakarta-Jogjakarta. Hal ini tentu saja membuat pelajaran tersebut akan sia-sia karena tidak dipakai di kehidupan sehari-hari. Selain itu, tidak dipelajarinya bahasa Tegalan di sekolah-sekolah tentu saja membuat perkembangan dan kelestarian bahasa Tegalan kian terancam.
Framing media saat ini seperti sinetron yang menggunakan bahasa Tegal sebagai bahasa kaum pembantu dan supir serta bahan lawakan di acara-acara komedi juga semakin membuat kebanyakan orang Tegal yang merantau di kota-kota besar semakin minder dan enggan menuturkan dialek Tegalan. Keluarga-keluarga muda di Tegal juga mulai mengajarkan anak-anaknya Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Jawa wetanan sebagai bahasa sehari-hari dibandingkan dengan Bahasa Tegalan karena dianggap lebih prestisius. Tegal pun mengalami krisis bahasa daerahnya sendiri, Bahasa Tegalan.
Untuk mengatasi krisis bahasa tersebut, tentu saja perlu beberapa tidakan yang harus dilakukan oleh semua warga Tegal, baik pemerintah maupun masyarakatnya harus mulai menjunjung Bahasa Tegal sebagai bahasa sehari-hari dan bagian dari kekayaan budaya daerah yang tidak boleh punah. Untungnya, Tegal memiliki orang-orang yang masih peduli untuk melestarikan Bahasa Tegal. Pada tahun 2006 lalu Kongres Bahasa Tegal I diadakan sebagai upaya untuk mengkaji dan mengembangkan Bahasa Tegal agar Bahasa Tegal tetap lestari. Upaya-upaya untuk melestarikan Bahasa Tegalan juga dilakukan oleh Hadi Utomo yang menyusun kamus Bahasa Tegal-Indonesia yang sekarang sudah terdapat 5000 kosakata di dalamnya.
Selain itu, upaya-upaya mengembangkan dan melestarikan Bahasa Tegalan juga dapat dilakukan dengan memasukan unsur dialek Tegalan ke dalam produk-produk kesenian dan budaya, seperti teater, drama, lagu-lagu, atau bahkan sastra Tegalan. Akhir-akhir ini Tegal dikejutkan dengan sebuah film berjudul Turah yang beraktor orang-orang Tegal, berlatar di Tegal dan seluruh dialog dalam filmnya menggunakan bahasa Tegal. Meskipun menggunakan bahasa daerah, film berdurasi 89 menit tersebut berhasil mendapatkan penghargaan internasional seperti Geber Award dan Netpac Award dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival, dan kategori Asian Feature Film Special Mention diraih dalam Singapore International Film Festival. FIlm Turah sendiri sudah berkeliling di berbagai festival film baik di Indonesia ataupun dunia Internasional. Film tersebut menunjukkan bahwa Bahasa Tegal bukanlah bahasa kasta terendah, bahwa Bahasa Tegal adalah identitas Wong Tegal dan bagian dari kekayaan budaya nusantara yang harus dilestarikan, bahwa tidak ada alasan lagi untuk minder menuturkan Bahasa Tegal.
ORA NGAPAK ORA KEPENAK! – Oleh: Satrio Adjie Nugroho