Sumber foto: iStock

Mengapa Masyarakat Indonesia Tidak Fasih Berbahasa Belanda? Menelusuri Jejak Kolonialisme dan Kebijakan Budaya

Tanggal: 16 Jan 2025 08:06 wib.
Kolonialisme dan Warisan Budaya di Asia Tenggara

Indonesia, Malaysia, dan Singapura memiliki sejarah yang serupa sebagai negara bekas jajahan bangsa asing. Namun, meskipun memiliki kesamaan dalam hal masa lalu kolonial, dampak penjajahan pada masing-masing negara menunjukkan perbedaan yang mencolok.

Malaysia dan Singapura, yang merupakan bekas jajahan Inggris, memiliki penduduk dengan tingkat kefasihan bahasa Inggris yang tinggi. Sementara itu, masyarakat Indonesia, meskipun pernah dijajah oleh Belanda selama ratusan tahun, tidak menunjukkan kemampuan serupa dalam berbahasa Belanda.

Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan: mengapa masyarakat Indonesia tidak fasih berbahasa Belanda seperti halnya penduduk Malaysia dan Singapura yang fasih berbahasa Inggris? Jawabannya terletak pada perbedaan corak kolonialisme antara Belanda dan Inggris, terutama dalam pendekatan mereka terhadap kebudayaan lokal dan bahasa.

Pengaruh Penjajahan terhadap Bahasa dan Budaya Lokal

Penjajahan hampir selalu meninggalkan jejak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk hukum, politik, mentalitas, kebudayaan, dan bahasa. Di Malaysia dan Singapura, jejak penjajahan Inggris sangat terasa melalui kefasihan penduduknya dalam berbahasa Inggris. Bahasa Inggris menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, pendidikan, dan bahkan sistem pemerintahan.

Sebaliknya, di Indonesia, pengaruh bahasa Belanda tidak sebesar itu. Kata-kata serapan seperti gordijn (gorden), bioscoop (bioskop), dan kantoor (kantor) hanyalah sebagian kecil dari jejak bahasa Belanda dalam bahasa Indonesia. Kebanyakan masyarakat Indonesia tidak menguasai bahasa Belanda, baik secara lisan maupun tulisan.

Kolonialisme Inggris: Invasi Budaya yang Terencana

Inggris memiliki pendekatan kolonialisme yang berbeda dibandingkan Belanda. Penjajah Inggris secara aktif melakukan invasi budaya Barat ke masyarakat Melayu. Kebijakan ini bertujuan untuk membaurkan kebudayaan lokal dengan kebudayaan Barat, bahkan hingga mengikis kebudayaan asli.

Dalam sektor bahasa, kebijakan ini membuat penduduk Melayu cukup pandai berbahasa Inggris, karena bahasa ini dipromosikan secara luas dalam pendidikan dan administrasi.

Kolonialisme Belanda: Eksploitasi tanpa Intervensi Budaya

Sebaliknya, Belanda tidak memiliki kebijakan serupa di Indonesia. Menurut Christopher Reinhart, seorang peneliti sejarah dari Nanyang Technological University, ada dua alasan utama mengapa Belanda tidak menyebarkan kebudayaannya secara luas di Indonesia:



Struktur Kolonialisme yang Ketat
Belanda memandang masyarakat lokal sebagai kelas bawah, sementara mereka menempatkan diri di kelas atas. Mereka percaya bahwa menyebarkan kebudayaan Belanda sama artinya dengan menganggap masyarakat lokal setara secara kultural. Hal ini bertentangan dengan struktur kolonial yang ingin mereka pertahankan. Untuk menjaga jarak sosial antara penjajah dan penduduk asli, Belanda memilih untuk tidak mempromosikan bahasa dan budaya mereka secara luas.


Fokus pada Eksploitasi Ekonomi
Kolonialisme Belanda lebih berorientasi pada eksploitasi ekonomi daripada penyebaran budaya. Reinhart mencatat bahwa Belanda tidak merasa perlu menyebarkan kebudayaan mereka selama mereka bisa mengambil keuntungan ekonomi. Snouck Hurgronje, seorang pejabat kolonial Belanda, pernah menyatakan bahwa kebudayaan lokal sebaiknya dibiarkan berkembang secara alami tanpa paksaan.



Pendekatan ini berlaku sejak era tanam paksa (1830–1900) hingga era politik etis (1900-an), di mana Belanda semakin menyadari pentingnya menjaga kebudayaan lokal agar tidak dirusak oleh invasi budaya Barat.

Perkembangan Bahasa Lokal di Indonesia

Keengganan Belanda untuk mengintegrasikan kebudayaan mereka ke dalam kehidupan masyarakat lokal memiliki dampak besar pada bahasa. Bahasa lokal seperti bahasa Melayu dan bahasa Indonesia terus tumbuh dan berkembang tanpa banyak campur tangan dari Belanda. Bahasa Belanda hanya digunakan di kalangan elit tertentu, seperti pejabat pemerintah atau kelompok masyarakat yang mendapat pendidikan formal ala Barat.

Akibatnya, bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa utama yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat hingga kini. Pendekatan ini berbeda dengan kebijakan Inggris yang secara aktif mempromosikan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi di koloni mereka.

Pengaruh Kebijakan Kolonial terhadap Identitas Budaya

Pendekatan Belanda yang lebih pasif terhadap kebudayaan lokal memungkinkan Indonesia untuk mempertahankan identitas budayanya. Reinhart mencatat bahwa meskipun Belanda tidak melarang penduduk lokal untuk mengadopsi kebudayaan Barat, mereka juga tidak secara aktif mendorongnya. Hal ini menciptakan ruang bagi budaya lokal untuk berkembang, bahkan di tengah penjajahan.

Pendekatan ini memiliki dampak positif dan negatif. Di satu sisi, Indonesia mampu mempertahankan bahasa dan budayanya. Namun, di sisi lain, kurangnya akses luas ke pendidikan ala Barat selama masa kolonial membuat masyarakat Indonesia tidak memiliki kemampuan bahasa Belanda yang signifikan, yang mungkin berguna dalam interaksi global pada masa itu.

Perbedaan dengan Malaysia dan Singapura

Berbeda dengan Indonesia, Malaysia dan Singapura mengadopsi kebijakan Inggris yang mendorong penggunaan bahasa Inggris di berbagai aspek kehidupan. Bahasa Inggris diajarkan di sekolah-sekolah dan digunakan dalam administrasi pemerintahan. Akibatnya, bahasa Inggris menjadi bahasa yang akrab dan mudah dikuasai oleh penduduk di kedua negara tersebut.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved