Legenda Sosok Nyi Blorong dalam Catatan Pelancong Belanda
Tanggal: 15 Sep 2024 07:38 wib.
Legenda Jawa, Nyi Blorong terkenal sebagai sosok perempuan yang mampu memberikan harta melimpah bagi seseorang secara "instan". Tentunya, kekayaan tersebut tak bisa didapatkan secara cuma-cuma. Demi kekayaan yang melimpah, seseorang harus rela menukarkan nyawa kepada Nyi Blorong.
Salah satu kisah tentang seseorang yang rela menumbalkan nyawa kepada Nyi Blorong demi kekayaan tertuang dalam catatan perjalanan ke Jawa pada masa kolonial yang berjudul Java, Fact, and Fancies (1905) oleh Augusta de Wit, sang pelancong Belanda yang mengunjungi Tanah Air.
Menurut Augusta de Wit, sosok yang rela menumbalkan nyawanya ke Nyi Blorong demi harta melimpah tanpa harus bekerja adalah seorang nelayan miskin dengan hobi judi sabung ayam di pantai Selatan Jawa, Pah-Sidin. Tak hanya menceritakan kisah Nyi Blorong dan Pah-Sidin, Augusta de Wit juga mengungkapkan wujud asli dari sang legenda tersebut. Berikut ceritanya.
Pada akhir abad ke-19, Pah-Sidin dan istri hidup dalam jeratan kemiskinan. Demi bertahan hidup, Augusta de Wit menyebut bahwa istri Pah-Sidin bekerja dari pagi hingga malam, menenun dan membatik sarung, menjual buah-buahan, serta merawat rumah, kebun dan ladang.
Sementara itu, Sidin tidak kerja karena tak punya keahlian dan malah asyik main judi sabung ayam. Suatu waktu, kondisi keuangan makin parah hingga tak memiliki beras sebutir pun dan kebun sudah ditarik rentenir. Sang istri murka dan mendesak Sidin bekerja mencari uang daripada terus berpuasa, bepergian tak jelas, dan main judi.
Dengan perasaan geram, Sidin bergerak mencari uang. Bukan kerja, tapi pergi selama berhari-hari menyusuri pantai menuju suatu gua. Dia hendak menemui Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong untuk meminta uang. Sesampainya di gua, dia menabur bunga, membakar kemenyan, dan berkata:
"Nyi Blorong! Aku mohon kepadamu. Aku miskin dan benar-benar celaka. Maukah kamu memberi uang? Aku bakal menyerahkan jiwaku kepadamu," teriak Sidin, dikutip Sabtu (14/9/2024).
Tak disangka, ada suara membalas teriakannya: "Aku mendengarmu, Pah-Sidin,”
Rupanya itu Nyi Blorong. Pah-Sidin lantas ketakutan. Terlebih, gua mendadak berubah menjadi rumah besar terselimuti emas. Namun, saat mendekat dia kaget setengah mati kalau rumah itu berasal dari sisa-sisa tumbal manusia. Nyi Blorong seakan memberi pesan harta setara nyawa orang.
Meski begitu, ketakutan sirna karena dia tetap butuh uang. Tawaran Nyi Blorong pun diterima.
Singkat cerita, saat sampai di rumah, Sidin kembali bertemu Nyi Blorong. Dalam penceritaan Augusta de Wit, keduanya bercumbu dan untuk pertama kalinya Nyi Blorong menampakkan wujud aslinya: punya sisik dan ekor, tapi bisa menghasilkan emas.
Setelahnya, Sidin senang dan langsung berubah nasib.
"Pah-Sidin kini bagaikan Raja terkaya: ia mempunyai rumah indah, dengan lumbung padi, kuda-kuda yang bagus, perkebunan palem dan jambu yang luas serta segala jenis buah-buahan lainnya, dan sawah-sawah subur," tulis de Wit.
Kekayaan lantas membuat sikap Sidin berubah. Dia menceraikan istri dan menikah lagi dengan tiga perempuan muda. Selama bertahun-tahun, dia kemudian hidup tenang bergelimang harta.
Namun, dia lupa kalau semua itu bersifat fana sebab Nyi Blorong bakal menagih nyawa sesuai perjanjian. Benar saja, berulangkali makhluk gaib itu datang menagih janji. Sidin tak bersedia menumbalkan nyawa sendiri. Maka, dia menumbalkan orang lain: pembantu dan adik kandung.
Meski begitu, Sidin kena batunya juga. Akibat tak ada lagi yang bisa ditumbalkan, dia pun menyerahkan diri kepada Nyi Blorong. Dia pun tewas meninggalkan harta benda.
Kisah Sidin yang diperoleh Augusta de Wit dari seorang nelayan bisa dilihat dari dimensi berbeda, yakni sikap iri pengamat terhadap orang kaya baru. Kasusnya sama seperti kemunculan mitos tuyul dan babi ngepet.
Keduanya karena para petani tak melihat kerja keras dari orang kaya, sehingga memandang ada persekutuan dengan makhluk supranatural. Kala itu, mengacu paparan George Quinn dalam "An Excursion to Java's Get Rich Quick Tree" (2009)", para petani selalu beranggapan datangnya kekayaan harus dipertanggungjawabkan.
Maka ketika orang kaya gagal mempertanggungjawabkan asal kekayaannya, para petani iri dan menuduh harta secara tidak halal. Dalam kasus Sidin dan Nyi Blorong, tidak menutup kemungkinan kisah didasari rasa iri nelayan yang tak melihat proses kerja keras Sidin menjadi kaya.
Terlebih, Nyi Blorong yang berkaitan dengan Nyi Roro Kidul mitosnya sudah terbongkar. Sastrawan Pramoedya Ananta Torer dalam Sastra, Sensor, dan Negara (1995) menyebut, Nyi Roro Kidul diciptakan pujangga Mataram usai kalah mempertahankan tanah Pantai Utara Jawa. Jadi, agar Mataram terlihat kuat dan menakut-nakuti Belanda supaya tak menguasai Pantai Selatan Jawa, tercipta cerita Nyi Roro Kidul.