Kuntilanak dalam Perspektif Antropologi dan Sejarah: Dari Roh Pohon hingga Monsterisasi Perempuan
Tanggal: 12 Feb 2025 06:40 wib.
Dalam banyak film bergenre horor, kuntilanak biasanya digambarkan sebagai sosok hantu perempuan berbaju putih, berambut panjang, dan sering tertawa nyaring yang menyeramkan. Penggambaran hantu kuntilanak ini ternyata menarik perhatian antropolog Jerman bernama Timo Duile. Rasa penasarannya terhadap kisah urban legend ini membuatnya terbang ke Indonesia untuk meneliti lebih lanjut tentang asal-usul dan perkembangan narasi hantu tersebut.
Hasil penelitiannya kemudian dituangkan dalam jurnal berjudul "Kuntilanak: Ghost Narratives and Malay Modernity in Pontianak, Indonesia", yang diterbitkan dalam Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia pada tahun 2020. Dalam jurnal tersebut, Timo menyoroti bagaimana kuntilanak berkembang dalam budaya Melayu dan bagaimana perubahan sosial serta modernitas memengaruhi pemaknaannya di Indonesia, khususnya di Pontianak.
Kuntilanak di Berbagai Negara
Meskipun kuntilanak dianggap sebagai legenda khas Indonesia, nyatanya cerita mengenai hantu ini tidak hanya ditemukan di Tanah Air. Di beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, sosok kuntilanak dikenal dengan sebutan pontianak. Dalam kepercayaan masyarakat di negara-negara tersebut, pontianak digambarkan sebagai mayat hidup yang bergentayangan karena tidak menemukan kedamaian setelah meninggal. Sosok ini sering diasosiasikan dengan perempuan yang meninggal dalam keadaan tidak wajar, terutama saat melahirkan atau mengalami kekerasan.
Penggambaran pontianak di Malaysia sedikit berbeda dengan yang ada di Indonesia. Di sana, makhluk ini lebih sering dikaitkan dengan cerita rakyat tentang perempuan yang meninggal dunia ketika mengandung dan bangkit kembali sebagai roh jahat yang meneror manusia. Ada juga kepercayaan bahwa pontianak dapat berubah bentuk menjadi wanita cantik untuk menarik perhatian pria sebelum akhirnya memangsa mereka.
Hubungan Pontianak dengan Kota Pontianak
Penamaan "pontianak" di Malaysia sebagai kata ganti kuntilanak ternyata berkaitan erat dengan asal-usul Kota Pontianak di Indonesia. Istilah "Pontianak" sendiri berasal dari bahasa Melayu "Ponti", yang berarti pohon tinggi. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi geografis Delta Sungai Kapuas dan Landak, yang menjadi tempat berdirinya Kota Pontianak.
Di kawasan tersebut, dahulu terdapat banyak pohon tinggi yang dianggap sebagai tempat tinggal berbagai roh dan makhluk halus. Kepercayaan terhadap roh ini berasal dari tradisi animisme yang pernah dianut oleh masyarakat setempat. Dalam kepercayaan animisme, roh memiliki karakteristik yang mirip dengan manusia—ada yang baik, ada yang jahat, dan ada pula yang bersifat netral. Oleh karena itu, roh dipercaya bisa hidup berdampingan dengan manusia dan bahkan berinteraksi dengan mereka.
Namun, kepercayaan ini mulai bergeser ketika Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie mendirikan permukiman di daerah tersebut pada abad ke-18. Menurut legenda, sebelum mendirikan Kesultanan Pontianak, Sultan dan pasukannya sering diganggu oleh makhluk-makhluk halus yang mendiami wilayah tersebut. Untuk mengusir roh-roh tersebut, Sultan Syarif Abdurrahman melakukan tembakan meriam ke udara sebagai bentuk perlawanan simbolis. Sejak saat itu, roh-roh yang sebelumnya dianggap sebagai penjaga pohon tinggi mulai disebut sebagai pontianak atau kuntilanak, yang kemudian memiliki konotasi negatif sebagai sosok hantu perempuan.
Inilah yang membuat masyarakat modern sering mengasosiasikan pohon besar, seperti pohon beringin, dengan keberadaan makhluk halus. Tradisi ini juga masih bertahan hingga saat ini, di mana orang-orang kerap menghindari lokasi tertentu yang dipenuhi dengan pepohonan besar pada malam hari karena dianggap sebagai sarang makhluk astral.
Monsterisasi Perempuan dalam Mitos Kuntilanak
Selain kajian dari Timo Duile, aspek menarik lainnya dari cerita kuntilanak dibahas oleh sejarawan Nadya Karima Melati dalam risetnya yang berjudul "Monsterisasi Perempuan dan Monoteisme" (2022). Dalam penelitiannya, Nadya menyoroti bagaimana narasi tentang roh perempuan yang sebelumnya netral berubah menjadi hantu menyeramkan seiring dengan masuknya agama monoteisme ke Nusantara.
Menurut Nadya, sebelum agama-agama monoteistik seperti Islam dan Kristen masuk ke Indonesia, masyarakat masih memegang kepercayaan lokal yang lebih inklusif terhadap dunia spiritual. Roh-roh yang mendiami alam dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dan tidak selalu memiliki sifat jahat. Namun, ketika ajaran monoteistik mulai menyebar, konsep tentang roh berubah drastis. Kepercayaan terhadap makhluk halus yang sebelumnya dianggap wajar mulai diubah menjadi sesuatu yang menakutkan dan bertentangan dengan ajaran agama.
Selain itu, Nadya juga mengungkapkan bahwa ada keterkaitan erat antara stigmatisasi perempuan dan mitologi hantu. Dalam berbagai budaya, perempuan sering kali dikaitkan dengan unsur mistis dan kematian. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman biologis perempuan, seperti menstruasi, kehamilan, dan melahirkan, yang sering dianggap memiliki keterkaitan dengan dunia spiritual.
Angka kematian ibu saat melahirkan yang cukup tinggi di masa lalu turut berkontribusi dalam membentuk citra perempuan sebagai sosok yang dekat dengan kematian. Banyak perempuan yang meninggal ketika melahirkan dianggap mengalami kematian tragis, sehingga muncul kepercayaan bahwa roh mereka akan gentayangan sebagai makhluk yang tidak tenang. Inilah yang kemudian memperkuat narasi bahwa kuntilanak adalah arwah perempuan yang meninggal dalam kondisi tidak wajar dan masih memiliki urusan yang belum selesai di dunia.
Modernisasi dan Pengaruh Budaya Pop
Seiring perkembangan zaman, citra kuntilanak terus berevolusi. Jika sebelumnya ia hanya dikenal melalui cerita rakyat dan kepercayaan lokal, kini kuntilanak telah menjadi ikon budaya pop yang muncul dalam berbagai bentuk media, seperti film, novel, dan bahkan video game.
Di Indonesia sendiri, kuntilanak menjadi salah satu karakter horor yang paling populer di industri perfilman. Sejak era 2000-an, film-film bertema kuntilanak terus diproduksi dan sukses menarik perhatian masyarakat. Beberapa film, seperti Kuntilanak (2006) yang dibintangi oleh Julie Estelle, serta sekuel-sekuelnya, berhasil membentuk kembali citra kuntilanak dalam imajinasi publik modern.
Namun, menariknya, ada pula upaya untuk mendekonstruksi stereotip kuntilanak sebagai sosok yang hanya menakutkan. Beberapa film dan karya sastra mulai menggambarkan kuntilanak dengan perspektif yang lebih kompleks, seperti menjadikannya sebagai simbol penderitaan perempuan akibat ketidakadilan sosial.