Komnas HAM Bantah Yusril, Sebut Peristiwa 1998 Pelanggaran HAM Berat
Tanggal: 25 Okt 2024 19:11 wib.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membantah pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra yang menyebut peristiwa 1998 bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, peristiwa yang terjadi pada tahun 1998 tersebut dimasukkan ke dalam kategori pelanggaran HAM berat lantaran telah ada penyelidikan pro justitia pada tahun 2003 Penyelidikan itu, kata Anis, dipimpin oleh Salahudin Wahid atau Gus Solah.
Peristiwa 1998 merupakan masa yang penuh dengan ketegangan dan konflik di Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Peristiwa tersebut ditandai dengan terjadinya kerusuhan di berbagai wilayah yang menyebabkan banyak korban jiwa, penyiksaan, dan pelanggaran HAM lainnya. Paska peristiwa tersebut, banyak pihak menuding bahwa pemerintah saat itu terlibat dalam pelanggaran HAM berat.
"Hasil penyelidikan tersebut menemukan bahwa telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat dalam kerusuhan Mei 1998. Di mana, ketika itu telah terjadi serangan yang sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil," ujar Anis di dalam keterangan video yang dikutip Kamis (24/10).
Namun, Yusril Ihza Mahendra menyoroti bahwa menurut pandangan hukum, peristiwa 1998 tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM berat karena saat itu negara dalam kondisi darurat. Yusril juga menyatakan bahwa seharusnya peristiwa 1998 dikaji ulang mulai dari fakta hingga hukum yang berlaku.
Menyikapi pernyataan Yusril Ihza Mahendra, Komnas HAM menegaskan bahwa peristiwa 1998 telah ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat berdasarkan hasil penyelidikan pro justitia pada tahun 2003. Hasil penyelidikan tersebut menunjukkan bahwa terdapat bukti-bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1998.
Selain itu, Komnas HAM juga menekankan pentingnya penegakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM pada masa lalu, termasuk peristiwa 1998. Komnas HAM menegaskan bahwa kejadian masa lalu yang melibatkan pelanggaran HAM berat harus ditindaklanjuti dengan upaya-upaya penegakan hukum yang adil dan transparan.
Pernyataan Komnas HAM ini pun mendapat dukungan dari berbagai pihak, terutama dari kelompok advokasi HAM dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka menekankan bahwa penegakan keadilan bagi korban peristiwa 1998 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya memperbaiki masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik.
Perdebatan mengenai kualifikasi peristiwa 1998 sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak merupakan hal yang sensitif dan kontroversial. Namun, dengan adanya kedalaman penyelidikan dan kesaksian para korban, penting bagi pihak berwenang untuk mengambil langkah-langkah yang adil dan menghormati proses hukum yang berlaku.
Dalam konteks ini, keberadaan Komnas HAM sebagai lembaga independen yang bertugas untuk melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap HAM menjadi sangat penting. Komnas HAM memiliki peran yang besar dalam memastikan bahwa pelanggaran HAM, termasuk peristiwa 1998, mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan.
Dengan adanya pernyataan Komnas HAM yang membantah Yusril Ihza Mahendra, diharapkan isu pelanggaran HAM pada peristiwa 1998 dapat diperlakukan dengan serius dan mendapat penanganan yang sesuai. Upaya-upaya penegakan keadilan bagi korban peristiwa tersebut harus dilakukan secara tulus dan adil, demi membangun fondasi keadilan yang kokoh bagi bangsa Indonesia.
Sebagai negara demokratis yang mengedepankan supremasi hukum, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menegakkan keadilan bagi semua warganya, terutama yang menjadi korban pelanggaran HAM. Hal ini juga menjadi kunci utama dalam memastikan bahwa tragedi masa lalu tidak terulang kembali di masa depan.