Sumber foto: iStock

Ketupat Lebaran: Sejarah, Makna Filosofis, dan Perannya dalam Penyebaran Islam di Jawa

Tanggal: 30 Mar 2025 12:24 wib.
Ketupat, salah satu makanan ikonik yang menjadi simbol perayaan Lebaran di Indonesia, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat kita. Tak lengkap rasanya merayakan Idulfitri tanpa menyantap ketupat yang hangat dan lezat. Biasanya ketupat ini disajikan bersama berbagai hidangan khas, seperti rendang yang gurih, gulai yang kaya rempah, opor yang beraroma, serta semur yang lezat. Kombinasi ini semakin menambah keistimewaan momen berbuka puasa setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.

Ketika kita menelusuri jejak sejarah ketupat, kita akan menemukan bahwa tradisi ini telah ada sejak lama dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sejarawan terkemuka, de Graff, mengungkapkan bahwa pada masa pemerintahan Kesultanan Demak di abad ke-15, masyarakat Muslim sudah mengenal dan menyantap ketupat dalam perayaan hari raya Islam. Dengan kata lain, ketupat sudah menjadi bagian dari budaya kita sejak sekitar 500 tahun yang lalu.

Kemunculan ketupat di Demak tidak terlepas dari peran penting kesultanan tersebut sebagai agen penyebaran Islam di tanah Jawa. Salah satu tokoh kunci dalam penyebaran Islam di wilayah ini adalah Walisongo, khususnya Raden Mas Sahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga. Beliau menggunakan ketupat sebagai media untuk memperkenalkan dan menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang akulturatif. Dalam konteks ini, ketupat yang sudah dikenal masyarakat Jawa dijadikan sebagai simbol baru untuk memudahkan masyarakat dalam menerima ajaran Islam.

Menyinggung tentang asal-usul ketupat, terdapat informasi menarik bahwa sebelumnya ketupat memiliki akar tradisi yang berkaitan dengan pemujaan Dewi Sri, sosok yang dianggap sebagai pembawa kesuburan serta berkaitan erat dengan pertanian. Ketika Sunan Kalijaga mengadaptasi ketupat dalam konteks Islam, beliau melakukan transformasi makna. 

Ketupat tidak lagi hanya sebagai simbol pemujaan Dewi Sri yang berafiliasi dengan kepercayaan Hindu-Buddha, tetapi juga diubah menjadi simbol ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Melalui pendekatan ini, Sunan Kalijaga berhasil mengubah persepsi masyarakat terhadap ketupat, mengaitkannya dengan nilai-nilai keagamaan Islam yang luhur.

Bila kita mengamati lebih jauh, makna ketupat tidak hanya terbatas pada simbol spiritual. Dalam Bahasa Jawa, kata "ketupat" berasal dari frasa "ngaku lepat," yang secara harfiah berarti mengakui kesalahan. Dengan demikian, ketupat di hari Lebaran memiliki makna yang dalam, yaitu sebagai gambaran pengakuan atas kesalahan serta ajakan untuk saling memaafkan. 

Keberadaan ketupat yang berbentuk segitiga juga menunjukkan bentuk yang sederhana namun penuh makna. Dalam tradisi Jawa, penggunaan janur untuk membungkus ketupat juga sarat dengan simbolisme; janur disebut sebagai "jatining nur," yang berarti hati nurani—sebuah pengingat akan perlunya kebersihan hati dalam hubungan antarsesama.

Melalui pemaknaan yang mendalam ini, jelas bahawa ketupat bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga wadah untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang penting. Ketupat digunakan sebagai sarana untuk menyemarakkan perayaan Idulfitri, khususnya pada hari ke-8 setelah Idulfitri, atau yang dikenal sebagai "ketupat Lebaran." Tradisi ini menjadi semakin kuat dan meluas, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan masyarakat. 

Di banyak daerah di Indonesia, perayaan ketupat Lebaran disambut dengan antusiasme yang tinggi, di mana masyarakat menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang telah diberikan, serta saling berbagi dan mempererat silaturahmi.

Tidak hanya terbatas pada masyarakat Jawa saja, ketupat kini telah merambah ke bagian lain di Indonesia. Di berbagai daerah, kita dapat melihat variasi dalam cara penyajian ketupat maupun hidangan pelengkap yang disajikan bersamanya. Masyarakat Sumatera, misalnya, menambahkan ketupat dengan rendang yang kaya rasa sebagai pelengkap, sedangkan di daerah Bali, ketupat sering dipadukan dengan sate lilit dan sambal matah yang pedas. Semua variasi ini memperkaya tradisi ketupat dalam setiap perayaan, menambah keragaman kuliner yang ada di Indonesia.

Di era modern ini, kita juga mengamati adanya upaya pelestarian tradisi ketupat dalam berbagai acara, baik di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional. Pameran kuliner yang mempromosikan ketupat sebagai makanan khas Indonesia seringkali diadakan di berbagai tempat, menarik perhatian wisatawan mancanegara. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya ketupat dalam mengekspresikan jati diri budaya Indonesia.

Secara keseluruhan, ketupat lebih dari sekadar sajian makanan. Makna yang terkandung dalam setiap butir ketupat mencerminkan nilai-nilai kehidupan, pengakuan akan kesalahan, serta ajakan untuk saling memaafkan dalam suasana penuh syukur. Sejarah panjangnya, yang terjalin sejak 500 tahun yang lalu, membuat ketupat menjadi simbol yang kaya akan tradisi dan makna dalam konteks keagamaan dan sosial masyarakat Indonesia. Warisan ini tidak hanya perlu dilestarikan, tetapi juga perlu diteruskan kepada generasi mendatang sebagai bagian dari identitas budaya kita.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved