Kemenkes Sebut Banyak Dokter Dirotasi, Hanya Satu Yang Keberatan
Tanggal: 12 Mei 2025 22:48 wib.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) baru-baru ini mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan rotasi beberapa dokter di berbagai rumah sakit di Indonesia. Dari sejumlah dokter yang terkena dampak kebijakan tersebut, hanya satu yang secara terbuka menolak perubahan penempatan. Penolakan tersebut datang dari Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim B Yanuarso.
Dr. Piprim baru-baru ini dipindah dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), salah satu rumah sakit terbesar dan terkenal di Jakarta, ke Rumah Sakit Fatmawati. Dalam pernyataannya, Piprim menyebut tindakan rotasi ini sebagai langkah yang diskriminatif dan tidak adil, terutama mengingat perannya di RSCM yang selama ini memberikan kontribusi besar dalam dunia kesehatan anak di Indonesia. Kritik tersebut tidak hanya ditujukan pada proses rotasi, tetapi juga terkait dengan transparansi dan justifikasi di balik keputusan tersebut.
Kebijakan rotasi dokter yang dikeluarkan oleh Kemenkes sebenarnya bertujuan untuk meratakan distribusi tenaga medis di seluruh Indonesia, agar pelayanan kesehatan dapat diakses oleh lebih banyak masyarakat. Namun, langkah ini dinilai berisiko menimbulkan ketidakpuasan di antara tenaga medis yang merasa telah berkomitmen di tempat mereka bekerja. Banyak dokter lainnya menerima keputusan ini dengan lapang dada, tetapi bagi dr. Piprim, pandangannya berbeda. Ia menilai bahwa kebijakan tersebut harus mempertimbangkan pengalaman dan latar belakang seorang dokter dalam memberikan pelayanan maksimal kepada pasien.
Dalam penjelasan lebih lanjut, dr. Piprim berkata bahwa ia merasa dipindahkan tanpa alasan yang jelas. Hal ini membuatnya merasa disudutkan dan diperlakukan tidak adil. Ia mengungkapkan kekhawatirannya bahwa rotasi dokter yang tidak memperhitungkan kemampuan dan pengalaman dapat memengaruhi kualitas pelayanan medis. Dia menyampaikan bahwa sebaiknya kebijakan rotasi tersebut diimplementasikan dengan pendekatan yang lebih manusiawi, di mana dokter diberikan kesempatan untuk memberikan masukan atau diberi penjelasan yang memadai mengenai keputusan tersebut.
Kepala Kemenkes, yang memberikan pernyataan terkait kebijakan ini, mengemukakan bahwa rotasi dokter adalah bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Meskipun demikian, pernyataan itu tidak menghilangkan kekhawatiran sejumlah pihak, termasuk dr. Piprim, tentang potensi dampak negatif yang bisa muncul akibat perpindahan dokter secara mendadak. Rotasi tanpa persiapan yang cukup bisa mengganggu kelangsungan pelayanan, terutama dalam hal penanganan kasus-kasus kesehatan yang kompleks dan membutuhkan perhatian khusus.
Menanggapi penolakan dr. Piprim, Kemenkes memastikan akan melaksanakan evaluasi berkala terhadap kebijakan ini. Hal ini bertujuan agar penempatan dokter ke rumah sakit dapat berjalan lebih efektif dan efisien, dengan tetap menjaga kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.
Dalam konteks ini, suara dr. Piprim mengangkat isu yang lebih besar, yaitu bagaimana kebijakan kesehatan seharusnya tidak hanya bersandar pada regulasi semata, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak psikologis dan profesionalisme tenaga kesehatan. Dengan harapan, ke depan, kebijakan serupa dapat diterapkan dengan lebih bijaksana, demi kesejahteraan semua pihak yang terlibat, baik pasien maupun dokter.
Kisah dr. Piprim dan rotasi dokter ini mengingatkan kita bahwa pendekatan dalam kebijakan kesehatan harus selalu bersifat inklusif, mendorong dialog antara pihak pengambil kebijakan dan praktisi medis di lapangan.