Jepang Denda Dewi Soekarno Rp 3 M Gara-gara PHK 2 Pegawai Saat Pandemi Covid-19
Tanggal: 21 Jan 2025 20:52 wib.
Pengadilan Ketenagakerjaan Jepang menjatuhkan denda sebesar 29 juta yen atau setara Rp 3 miliar kepada Ratna Sari Dewi Soekarno, istri keenam Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Keputusan ini diumumkan pada Jumat (17/1/2025) setelah Dewi dinyatakan bersalah atas tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada dua pegawainya selama pandemi Covid-19.
Kasus ini bermula pada 4 Februari 2021 ketika Ratna Sari Dewi kembali ke Indonesia untuk menghadiri pemakaman menantunya, Frits Frederik Seegers. Setelah kembali ke Jepang, dua pegawai kantornya merasa khawatir akan risiko penularan Covid-19 dan meminta izin untuk bekerja dari rumah selama dua minggu sebagai langkah pencegahan.
Permintaan tersebut didasari oleh situasi pandemi yang saat itu sedang dalam puncaknya, dengan anjuran dari otoritas kesehatan untuk menjaga jarak dan mengurangi interaksi langsung. Namun, Ratna Sari Dewi dilaporkan merasa tersinggung atas keputusan tersebut. Dalam kemarahannya, ia memutuskan untuk memecat kedua pegawai tersebut tanpa memberikan kompensasi yang sesuai.
Pengadilan Jepang menilai tindakan Ratna Sari Dewi sebagai pelanggaran terhadap hukum ketenagakerjaan negara tersebut, yang melarang PHK sepihak tanpa alasan yang jelas dan tanpa pemberian hak-hak karyawan.
Dalam persidangan, hakim menegaskan bahwa tindakan Dewi tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga tidak mempertimbangkan kondisi pandemi yang memaksa banyak perusahaan untuk beradaptasi dengan sistem kerja jarak jauh. Akibatnya, pengadilan menjatuhkan sanksi denda sebesar 29 juta yen untuk menutupi kerugian yang dialami oleh kedua karyawan tersebut.
Kasus ini menjadi sorotan media di Jepang dan Indonesia. Banyak yang mengecam tindakan Dewi Soekarno, yang dinilai tidak manusiawi di tengah situasi pandemi yang sulit.
Seorang pakar hukum ketenagakerjaan di Jepang mengomentari kasus ini, “Pandemi Covid-19 adalah masa sulit bagi semua orang. Perusahaan, termasuk individu pemberi kerja, harus menunjukkan fleksibilitas dan empati. Tindakan seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip keadilan.”
Di sisi lain, beberapa pihak mendukung Dewi Soekarno dengan alasan bahwa keputusan PHK adalah hak prerogatif pemberi kerja. Namun, argumen ini tidak cukup kuat untuk membela tindakan Dewi dalam konteks hukum Jepang.
Setelah keputusan ini, Dewi Soekarno diharuskan membayar denda tersebut kepada pengadilan dalam waktu yang telah ditentukan. Namun, belum ada pernyataan resmi dari pihak Dewi terkait apakah ia akan mengajukan banding atau menerima putusan tersebut.
Kasus ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi dunia kerja selama pandemi Covid-19. Banyak perusahaan dan pemberi kerja dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan sistem baru, seperti kerja jarak jauh, guna melindungi karyawan dari risiko kesehatan.
Namun, kasus Dewi Soekarno menunjukkan bahwa tidak semua pemberi kerja mampu atau bersedia beradaptasi dengan situasi tersebut. Hal ini menjadi pengingat bahwa hukum ketenagakerjaan yang adil dan tegas sangat diperlukan, terutama dalam situasi krisis global.
Keputusan pengadilan Jepang untuk mendenda Ratna Sari Dewi sebesar Rp 3 miliar menjadi pelajaran penting tentang pentingnya menghormati hak-hak karyawan, bahkan dalam kondisi sulit seperti pandemi. Kasus ini juga menunjukkan bahwa keadilan dapat ditegakkan tanpa memandang status atau latar belakang seseorang.