Gaduh Rencana Penetapan Tarif KRL Berbasis NIK, Bagaimana Mekanismenya dan Mengapa Dinilai Tidak Tepat Sasaran?
Tanggal: 4 Sep 2024 18:10 wib.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, mengatakan di belahan dunia mana pun transportasi massal menggunakan tarif tunggal lantaran pelayanan yang diberikan sama untuk semua penumpang. Komunitas pengguna KRL, Jalur 5 Community dan KRL Mania, juga menyatakan menolak skema subsidi berbasis NIK mengingat data masyarakat miskin di Indonesia amburadul dan rentan salah sasaran.Merespon berbagai kritik tersebut, Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan "belum ada keputusan final terkait perubahan skema subsidi KRL dari PSO menjadi berbasis NIK.
Kritik dan penolakan atas rencana pemerintah untuk menetapkan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) masih disuarakan warganet di media sosial.Di X bertebaran poster penolakan dengan narasi "Sudah sesak tambah dipalak, tolak skema subsidi KRL berbasis NIK".
Mayoritas komentar yang berseliweran menyatakan ketidaksetujuan terhadap wacana perbedaan tarif. Sebab transportasi umum seharusnya terbuka untuk siapa pun serta mudah diakses oleh masyarakat luas tanpa memandang kelas ekonomi. Misael S, salah satu pendiri Jalur 5 Community, termasuk yang tak setuju kalau rencana itu dijalankan karena dianggap tidak jelas landasannya dan bisa memicu keributan.
"Di mana-mana transportasi massa itu tarifnya satu dan sama, mau kaya atau miskin enggak dibeda-bedakan. Jadi saya bingung dan kaget akan ada pemisahan tarif subsidi bagi yang kurang mampu, padahal layanannya sama," ujar Misael.
Misael merupakan pengguna setia KRL. Saban hari dia mengandalkan kereta komuter Jabodetabek untuk berangkat dan pulang kerja dari Jakarta ke Tangerang. Kereta komuter dipilih karena bebas macet dan ongkosnya murah.
"Ada sih transportasi altenatif lain ke Tangerang, tapi macet di jalan tol. Jadi mau enggak mau, naik kereta komuter."
Ia bercerita sejak wacana akan adanya skema baru penetapan tarif kereta komuter berbasis NIK, para pengguna KRL Jabodetabek resah. Mereka khawatir bisa memicu pertengkaran antar-sesama penumpang nantinya. Sebab para penumpang yang menerima subsidi akan diminta mengalah dan mendahulukan yang non-subsidi.
"Bisa-bisa terjadi keributan di dalam kereta, karena ada dualisme tarif itu. Sekarang aja data orang kurang mampu atau miskin rawan disalahgunakan. Apalagi cuma kereta?"
Pengurus KRL Mania, Nur Cahyo, juga sependapat. Kata dia, penerapan tarif berdasarkan NIK tidak akan tepat sasaran. Sementara konsep transportasi umum adalah layanan yang diberikan kepada semua orang tanpa memandang kemampuan ekonomi atau domisi penggunanya.
"Masak naik kereta komuter disamain sama bansos? Heran saya... terlalu kreatif yang bikin kebijakan," ucapnya.
"Harusnya pemerintah bersyukur adanya kereta komuter ini orang-orang kelas menengah mau pindah dari kendaraan pribadi ke transportasi publik, bukan malah direcokin," sambungnya.
Semua keributan ini bermula dari terungkapnya dokumen Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025. Dalam dokumen yang diserahkan pemerintah kepada DPR untuk dibahas bersama itu tercantum beberapa perbaikan yang akan dilakukan untuk skema Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) Kereta Api, Salah satunya adalah perbaikan pada sistem tiket elektronik KRL Jabodetabek, yang disebutkan perbaikan akan dilakukan dengan menggunakan tiket elektronik berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi pengguna KRL.
Tujuan dari penerapan skema itu "agar subsidi yang diberikan lebih tepat sasaran," kata Juru bicara Kemenhub Adita Irawati. Namun demikian, menurut Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub, Risal Wasal, skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK belum akan diberlakukan dalam waktu dekat. Ia pun tidak memberikan spesifik waktu kapan perubahan mekanisme ini akan diterapkan. Yang jelas Kemenhub, klaimnya, masih membuka ruang diskusi untuk menerima berbagai masukan dari akademisi maupun masyarakat untuk menilai kebijakan baru tersebut. Sehingga harapannya, tidak akan memberatkan pengguna layanan KRL.
Pengamat transportasi yang juga Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, mengatakan Pasal 66 UU BUMN mengamanatkan kepada pemerintah untuk melaksanakan Public Service Obligation (PSO) atau kewajiban pelayanan publik. Bentuk PSO yang diberikan pemerintah untuk transportasi umum khususnya kereta komuter, kata Herlambang, adalah "menanggung selisih harga" biaya produksi atau sarana kereta api.
Ia mencontohkan biaya produksi untuk satu penumpang dengan jarak 25 kilometer bisa mencapai Rp20.000. Namun karena pemerintah memberikan subsidi PSO, maka tarif yang dikenakan kepada pengguna hanya Rp3.000.
"Jadi pemerintah mensubsidi satu orang Rp17.000. Mahal memang, tapi kan ada benefitnya [keuntungan]," ujar Herlambang.
Keuntungan yang dimaksudnya itu antara lain bisa mengurangi kemacetan, mengurangi emisi karbon alias polusi, hingga mengurangi angka kecelakaan di jalan raya. Itu mengapa baginya pemberian PSO untuk transportasi publik harus digelontorkan sebanyak-banyakanya. Tujuannya agar makin banyak orang beralih menggunakan transportasi umum. Karena bagaimanapun dananya berasal dari pajak rakyat.
"Nah bagaimana kalau semisal orang bayar pajak lalu justru naik angkutan umum subsidinya dicabut? Itu kan masalah."
Herlambang mendesak pemerintah agar mengubur dalam-dalam alias mencabut skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Sebab penetapan tarif yang berbeda-beda hanya memicu benturan bahkan konflik sosial. Menurutnya, pemberian Public Service Obligation (PSO) atau kewajiban pelayanan publik harus tetap diberlakukan sembari pemerintah membuat kajian soal penyesuaian tarif yang wajar.
Diakuinya tarif yang saat ini berlaku memang "tidak lagi ideal" yakni Rp3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama dan ditambah Rp1.000 untuk setiap 10 kilometer. Besaran tarif itu belum naik sejak 2016 sampai sekarang. Sementara inflasi terus naik dan infrastruktur seperti stasiun semakin baik dan nyaman, katanya.
"Memang harus ada penyesuaian tarif dan enggak masalah asal pelayanan juga sudah baik," ucapnya.
Soal besaran tarif, Herlambang memperkirakan kenaikan yang tidak memberatkan pengguna antara Rp2.000 - Rp3.000. Tapi dia menekankan agar kenaikan itu tidak dilakukan dalam waktu dekat apalagi tahun 2025. Ini karena menurutnya, meski pelayanannya semakin baik tapi sarana dan prasarananya masih terbatas.
Dia mencontohkan lantaran banyak kereta komuter yang rusak, akibatnya jumlah rangkaian gerbong yang beroperasi tidak pernah penuh 12 rangkaian. Sekarang satu gerbong cuma delapan atau sepuluh saja yang beroperasi dan itu pun jarak lintasannya lima sampai sepuluh menit sekali. Jadi masih belepotan layanannya Nanti setelah kereta-kereta baru dari China dan INKA datang, silakan kalau mau negosiasi penyesuaian tarif tahun 2026.
Untuk diketahui PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) memesan 11 trainset impor dari China untuk KRL Jabodetabek. Adapun pemesanan kepada INKA hanya dua trainset. Kereta baru impor itu dilaporkan akan tiba pada 2025 - 2026. Sementara itu jika pemerintah tetap merasa perlu memberikan subsidi, maka bentuknya bisa berupa pemberian kartu khusus transportasi kepada kelompok tertentu. Misalnya dikasih kartu dengan isi saldo Rp300.000 sebulan dipakai untuk mobilitas transportasi, tapi dia ketika masuk stasiun tetap harus bayar dengan tarif yang sama. Intinya PSO jangan sampai dihilangkan.
Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan belum ada keputusan final terkait perubahan skema subsidi KRL dari PSO menjadi berbasis NIK. Menteri BUMN, Erick Thohir, juga mengaku belum mendapatkan informasi detil mengenai rencana perubahan skema penetapan tarif kereta komuter Jabodebek.
"Kalau memang ada kebijakan seperti itu, ya saya rasa harus duduk bersama," ujarnya ditemui di DPR RI, Senin (02/09).
Ia juga berkata sampai saat ini belum ada koordinasi dan pembahasan dengan Kementerian Perhubungan maupun Kementerian Keuangan. Bahkan rapat bersama Presiden Jokowi mengenai isu ini belum dilakukan.
"Kami belum, belum duduk bersama. Kan biasanya ada ratasnya dan biasanya, kan kami mengikut. Sepertinya baru usulan, saya enggak tahu, soalnya saya baca di media juga," imbuhnya.
Namun, ia memastikan akan mendukung kebijakan apapun yang ditetapkan pemerintah. Sebab, sebagai instansi yang membawahi perusahaan pelat merah, tugasnya adalah menjalankan kebijakan yang ditugaskan pemerintah.
"Dan saya selalu mendukung kebijakan apapun yang diambil pemerintah, karena kami kan bagian dari pemerintah. Jadi kita tidak pernah bilang salah dan benar," jelasnya.
Erick menekankan hal yang sama berlaku untuk subsidi lainnya, seperti bahan bakar minyak (BBM) yang ditugaskan kepada PT Pertamina (Persero). Semua BUMN dinilai hanya mengikuti kebijakan yang diambil oleh pemerintah.