Fenomena Kumpul Kebo Makin Marak: Mengapa Anak Muda Memilih Tinggal Serumah Tanpa Nikah?
Tanggal: 30 Jun 2025 10:13 wib.
Fenomena tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan atau yang kerap dikenal dengan istilah ‘kumpul kebo’, kini semakin meluas di berbagai daerah di Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa praktik ini paling banyak terjadi di kawasan timur Indonesia, terutama di wilayah yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Perubahan cara pandang generasi muda terhadap institusi pernikahan menjadi salah satu penyebab utama maraknya tren ini.
Menurut laporan dari The Conversation, pergeseran nilai dan norma dalam melihat pernikahan turut memengaruhi sikap anak muda terhadap relasi romantis. Bagi sebagian besar generasi sekarang, pernikahan dianggap sebagai institusi normatif yang penuh aturan, birokrasi, dan tanggung jawab berat. Sebaliknya, mereka melihat kohabitasi atau tinggal bersama tanpa ikatan resmi sebagai bentuk ekspresi cinta yang lebih murni dan realistis.
Fenomena ini cukup mencolok terutama di Asia, termasuk Indonesia, yang masih menjunjung tinggi nilai budaya, agama, dan norma tradisional. Namun, berbeda dengan banyak negara Asia lainnya di mana kohabitasi dianggap tabu dan jarang terjadi, di Indonesia praktik ini justru mulai terlihat lebih terbuka, meski masih mendapatkan stigma dari masyarakat luas.
Kohabitasi di Indonesia: Data dan Temuan Riset
Sebuah studi yang dilakukan tahun 2021 bertajuk The Untold Story of Cohabitation mengungkapkan bahwa fenomena kumpul kebo paling banyak ditemukan di Indonesia bagian timur, seperti kota Manado, Sulawesi Utara. Wilayah ini mayoritas penduduknya non-Muslim, dan memiliki tingkat toleransi sosial yang relatif lebih tinggi terhadap kohabitasi.
Yulinda Nurul Aini, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyebutkan bahwa ada tiga alasan utama mengapa pasangan muda di Manado memilih untuk tinggal bersama tanpa menikah, yaitu:
Masalah keuangan – biaya menikah yang mahal dan tanggung jawab ekonomi setelah menikah dirasa terlalu berat.
Prosedur perceraian yang rumit – ketakutan terhadap proses hukum yang panjang jika terjadi perpisahan.
Tingginya penerimaan sosial – komunitas sekitar lebih terbuka terhadap gaya hidup kohabitasi.
Berdasarkan data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik BKKBN, Yulinda menemukan bahwa sekitar 0,6% warga kota Manado hidup dalam kohabitasi. Dari jumlah itu, 1,9% sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia di bawah 30 tahun, 83,7% hanya berpendidikan SMA atau lebih rendah, dan lebih dari 50% bekerja di sektor informal.
Dampak Negatif dari Kumpul Kebo
Meskipun kohabitasi sering dianggap sebagai alternatif yang lebih fleksibel dan bebas dari ikatan hukum, kenyataannya hubungan seperti ini juga memiliki sejumlah konsekuensi serius, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang terlibat di dalamnya.
Secara ekonomi, perempuan dalam hubungan kohabitasi tidak memiliki perlindungan hukum yang jelas seperti halnya dalam pernikahan sah. Misalnya, ketika terjadi perpisahan, tidak ada mekanisme legal yang mengatur nafkah anak, hak waris, pembagian harta, atau hak asuh anak. Hal ini membuat perempuan dan anak berada dalam posisi rentan secara finansial dan hukum.
Dari sisi kesehatan mental, hidup bersama tanpa komitmen legal dapat menimbulkan tekanan emosional. Minimnya jaminan masa depan dan ketidakpastian status hubungan membuat banyak pasangan mengalami konflik berkepanjangan. Yulinda mencatat bahwa:
69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik seperti adu mulut atau ketegangan.
0,62% mengalami konflik serius seperti pisah ranjang atau bahkan berpisah tempat tinggal.
0,26% mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga berisiko mengalami berbagai kesulitan. Tak hanya dalam hal kesehatan dan perkembangan emosional, mereka juga kerap menghadapi stigma sosial, termasuk dari anggota keluarga sendiri.
"Anak yang lahir di luar nikah sering kali dianggap sebagai 'anak haram' dan mengalami diskriminasi dalam lingkungan sosialnya," jelas Yulinda. "Kondisi ini bisa membuat mereka mengalami krisis identitas dan kesulitan dalam memahami peran mereka di dalam keluarga maupun masyarakat."
Tantangan Sosial dan Hukum
Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat. Di satu sisi, nilai-nilai tradisional dan hukum di Indonesia masih menempatkan pernikahan sebagai institusi penting, baik dalam konteks sosial maupun hukum. Di sisi lain, munculnya gaya hidup baru yang tidak selaras dengan norma tersebut membuat regulasi dan pendekatan sosial perlu diperbarui agar tidak hanya menghukum, tetapi juga melindungi mereka yang berada dalam kohabitasi.
Pendekatan edukatif dan pencegahan menjadi sangat penting. Selain memberikan informasi tentang risiko dan konsekuensi kohabitasi, masyarakat juga perlu diberikan pemahaman tentang pentingnya perlindungan hukum bagi semua anggota keluarga, termasuk anak-anak.
Fenomena kumpul kebo bukan sekadar gaya hidup urban, tapi juga cerminan dari krisis sistemik dalam hal akses pernikahan, edukasi seksual, dan keadilan sosial.
Kesimpulan
Kumpul kebo yang makin meluas di Indonesia, terutama di wilayah timur, mencerminkan perubahan besar dalam cara pandang masyarakat terhadap relasi dan komitmen. Meski dianggap pilihan praktis oleh sebagian kalangan muda, realitasnya menunjukkan banyak risiko tersembunyi, terutama bagi perempuan dan anak.
Langkah pencegahan, edukasi, serta regulasi yang ramah dan inklusif menjadi krusial untuk memastikan bahwa setiap individu dalam hubungan, baik yang sah maupun tidak, tetap terlindungi dan memiliki masa depan yang layak.