Fakta Mengejutkan! Ternyata Gelar Haji di Indonesia Warisan Penjajahan, Bukan Syariat Islam
Tanggal: 4 Jun 2025 10:24 wib.
Gelar “Haji” atau “Hajah” di Indonesia seringkali dianggap sebagai bentuk penghormatan yang diberikan kepada mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Namun, tahukah Anda bahwa penyematan gelar ini bukan berasal dari ajaran Islam atau ketentuan Kerajaan Arab Saudi? Uniknya, tradisi ini ternyata hanya berlaku di Indonesia dan memiliki akar sejarah yang sangat politis, bahkan bermula sejak zaman penjajahan Belanda.
Asal-Usul Gelar Haji: Bukan dari Syariat Islam
Di tengah masyarakat Indonesia, menyebut seseorang dengan gelar “Haji” setelah pulang dari Makkah sudah menjadi hal yang lazim. Gelar ini pun kerap dijadikan identitas sosial baru yang membanggakan. Namun, di balik kesan religius dan mulia itu, ternyata penyematan gelar ini tidak memiliki dasar dalam hukum Islam maupun sistem formal di Arab Saudi.
Fakta mencengangkan ini terungkap dari sejarah panjang masa kolonial Hindia Belanda. Pemerintah kolonial kala itu memiliki kepentingan politik terselubung dalam mengawasi masyarakat pribumi, terutama yang telah menunaikan ibadah haji ke Makkah. Bagi mereka, para jamaah haji adalah ancaman potensial.
Haji dan Politik Kolonial: Dari Kekhawatiran hingga Pengawasan Ketat
Pada abad ke-19, jamaah haji dari Indonesia dikenal kerap kembali dari Tanah Suci dengan pemikiran dan semangat baru. Mereka tidak hanya pulang membawa ilmu agama, tapi juga wawasan sosial dan politik yang progresif. Hal inilah yang membuat para penjajah Belanda waspada. Kekhawatiran bahwa para haji bisa menginspirasi perlawanan rakyat terhadap kolonialisme menjadi sangat nyata.
Aqib Suminto dalam bukunya Politik Islam Hindia Belanda (1986), menyebut bahwa kekhawatiran terhadap jamaah haji pertama kali muncul pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, sekitar tahun 1810-an. Daendels menilai bahwa jamaah yang baru pulang dari Makkah kerap menjadi penyulut perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Oleh karena itu, ia mewajibkan mereka memiliki paspor haji sebagai bentuk kontrol administratif.
Kebijakan serupa juga diterapkan saat Indonesia sempat dijajah oleh Inggris di bawah kepemimpinan Thomas Stamford Raffles. Dalam buku History of Java (1817), Raffles bahkan menyebut orang Jawa yang pergi haji sebagai “sok suci” dan berpotensi menghasut rakyat untuk memberontak. Dalam pandangan para penjajah, gelombang spiritualitas pasca haji sering kali menyulut semangat kemerdekaan.
Resmi Dibentuk: Gelar Haji sebagai Alat Kontrol Kolonial
Meski pemikiran itu sudah berkembang sejak awal abad ke-19, kebijakan resmi baru diterapkan pada tahun 1859. Pemerintah kolonial memberlakukan regulasi yang mewajibkan para haji untuk menjalani serangkaian ujian saat mereka kembali dari Makkah. Jika lolos, mereka diwajibkan menggunakan gelar “Haji” di depan nama mereka dan mengenakan pakaian khas seperti jubah ihram serta sorban putih.
Langkah ini bukan hanya simbolis, tapi juga merupakan strategi pengawasan. Dengan memberi gelar khusus, pemerintah kolonial bisa dengan mudah melacak dan mengidentifikasi siapa saja yang pernah berhaji. Saat terjadi pemberontakan, mereka tinggal menyasar para pemilik gelar ini, karena dianggap sebagai biang kerok perlawanan.
Sebagai contoh, Perang Jawa (1825–1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro dianggap sebagai salah satu pemberontakan besar yang dipicu oleh pengaruh ajaran Islam yang berkembang pasca haji. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menetapkan sistem deteksi dini melalui gelar haji agar bisa lebih cepat menindak para tokoh agama yang dianggap berbahaya.
Warisan Penjajahan yang Tak Hilang
Meskipun Indonesia telah merdeka sejak 1945, kebiasaan penyematan gelar haji tetap hidup dan bahkan semakin mengakar. Kebudayaan kolonial ini seakan telah melebur menjadi bagian dari identitas sosial masyarakat Indonesia. Sayangnya, sejarah kelam di balik gelar tersebut kerap dilupakan atau bahkan tidak diketahui.
Dien Madjid dalam bukunya Berhaji di Masa Kolonial (2008) menulis bahwa pengawasan terhadap eks-jamaah haji terus dilakukan bahkan hingga awal abad ke-20. Ketika pemikiran keislaman dari Makkah menyebar ke Indonesia, para eks-haji tetap dicurigai sebagai agen perubahan sosial yang membahayakan stabilitas kekuasaan kolonial.
Ironisnya, saat Indonesia memasuki era dekolonisasi dan kebebasan beragama semakin dijunjung tinggi, sapaan “Haji” tetap digunakan tanpa pemahaman akan latar belakang historisnya. Dalam konteks saat ini, gelar tersebut memang tidak lagi dipakai sebagai alat pengawasan, melainkan sebagai bentuk penghormatan. Namun, mengetahui asal-usulnya membuka wawasan kita tentang bagaimana budaya dan kebijakan kolonial bisa bertahan lintas generasi.
Gelar atau Identitas? Saatnya Memaknai Kembali
Kini, gelar “Haji” lebih sering dianggap sebagai pencapaian spiritual dan simbol status sosial. Banyak masyarakat yang merasa bangga disapa dengan gelar tersebut. Namun, penting bagi kita untuk menyadari bahwa kebiasaan ini lahir dari strategi kolonial, bukan bagian dari nilai syariah atau ajaran Islam.
Sebagai masyarakat yang semakin melek sejarah dan kritis terhadap warisan kolonial, ada baiknya kita mempertimbangkan kembali makna dan penggunaan gelar ini. Apakah masih relevan dalam konteks spiritualitas modern, atau hanya menjadi formalitas kosong yang diwariskan tanpa refleksi?
Yang pasti, mengenali akar historis dari budaya kita adalah langkah awal menuju pemahaman yang lebih dalam—baik tentang identitas kita sebagai umat Islam, maupun sebagai bangsa yang pernah dijajah dan kini tengah membangun kembali jati dirinya secara utuh.