Donald Trump Teken Larangan Transgender di Militer Amerika
Tanggal: 28 Jan 2025 23:12 wib.
Pada Senin, 27 Januari 2025, mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan kontroversial yang kembali melarang keberadaan ideologi transgender di militer AS. Dalam konferensi pers di Washington, Trump menyatakan telah menandatangani perintah eksekutif yang memperbarui larangan terhadap warga transgender yang ingin bergabung atau tetap bertugas di angkatan bersenjata AS. Langkah ini segera menuai kritik tajam dari komunitas LGBTQ+ dan berbagai kelompok hak asasi manusia, yang menyebut kebijakan ini sebagai kemunduran besar dalam upaya mencapai inklusi dan kesetaraan di militer.
Trump berpendapat bahwa larangan ini bertujuan untuk memperkuat efisiensi dan solidaritas di tubuh militer. “Militer Amerika harus tetap menjadi lembaga yang efisien, fokus, dan bebas dari segala bentuk radikalisme gender,” ujar Trump. Ia juga mengkritik keberadaan pasukan transgender sebagai “beban” yang dinilai mengganggu kesiapan dan harmoni internal angkatan bersenjata.
Kebijakan yang Mengulang Langkah Lama
Larangan transgender di militer bukanlah kebijakan baru bagi Trump. Selama masa kepresidenan pertamanya, ia juga sempat menerapkan kebijakan serupa pada 2017, yang kemudian dicabut oleh Presiden Joe Biden pada 2021. Namun, kebijakan terbaru ini menegaskan bahwa Trump tetap pada pendiriannya terkait peran warga transgender dalam angkatan bersenjata.
Menurut laporan, jumlah personel transgender di militer AS diperkirakan mencapai 15.000 dari total dua juta anggota berseragam. Para pendukung kebijakan ini mengklaim bahwa keberadaan pasukan transgender berpotensi menambah tantangan logistik dan operasional, termasuk kebutuhan medis khusus dan potensi konflik di lapangan.
Namun, banyak pihak yang menganggap bahwa kebijakan ini justru diskriminatif dan tidak berdasarkan fakta. Studi yang dilakukan oleh RAND Corporation pada 2016 menunjukkan bahwa keberadaan anggota transgender di militer hanya memberikan dampak minimal pada anggaran dan operasional. Selain itu, sejumlah pakar menyebut bahwa kebijakan inklusi justru memperkuat solidaritas dan moral pasukan.
Reaksi dari Komunitas LGBTQ+
Kebijakan ini dianggap sebagai pukulan berat bagi komunitas LGBTQ+, terutama bagi warga transgender yang telah lama berjuang untuk diterima dan diakui dalam institusi militer. Organisasi hak asasi manusia seperti Human Rights Campaign (HRC) menyebut larangan ini sebagai bentuk diskriminasi yang berbahaya dan melukai prinsip-prinsip kebebasan serta kesetaraan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh Amerika Serikat.
“Donald Trump sekali lagi menunjukkan bahwa ia tidak peduli pada inklusi dan keberagaman,” ujar Joni Madison, presiden HRC. Ia juga menekankan bahwa larangan ini berpotensi memperburuk tantangan perekrutan yang sudah dihadapi militer AS dalam beberapa tahun terakhir.
Tantangan Perekrutan dan Efek Jangka Panjang
Militer AS selama ini telah berjuang menghadapi kesulitan dalam merekrut personel baru, dengan laporan terbaru menunjukkan bahwa hanya 23 persen generasi muda Amerika yang memenuhi syarat untuk bergabung dengan angkatan bersenjata. Larangan transgender ini dikhawatirkan akan semakin mempersempit kelompok yang bisa direkrut, sekaligus menciptakan citra militer yang eksklusif dan tidak ramah terhadap keberagaman.
Di sisi lain, kelompok pendukung Trump menganggap kebijakan ini sebagai langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa militer tetap fokus pada tugas utamanya, yaitu mempertahankan keamanan nasional. Mereka berargumen bahwa isu-isu sosial dan politik seharusnya tidak mencampuri operasional militer.
Larangan transgender di militer AS ini kembali membuka perdebatan tentang inklusi dan keberagaman dalam institusi penting negara. Meski mendapat dukungan dari sebagian pihak, kebijakan ini juga menuai kritik keras dari berbagai organisasi dan komunitas yang memperjuangkan kesetaraan. Dalam konteks tantangan perekrutan dan kebutuhan akan pasukan yang kuat dan solid, apakah kebijakan ini benar-benar menjadi solusi, atau justru menciptakan masalah baru bagi militer AS? Hanya waktu yang akan menjawab.