Sumber foto: Google

Direktur TV Swasta Jadi Tersangka, Advokat: Harusnya Kejagung Pakai Hak Jawab

Tanggal: 25 Apr 2025 18:52 wib.
Penetapan Direktur Utama JakTV, Tian Bahtiar, sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) memicu perdebatan luas di kalangan masyarakat dan praktisi hukum. Tian diduga terlibat dalam pemberitaan yang dinilai menciptakan framing negatif terhadap institusi Kejagung terkait dua kasus besar: pengungkapan kasus korupsi PT Timah dan kasus importasi gula yang menyeret nama Thomas Lembong.

Menurut Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, tindakan Tian dinilai telah melampaui batas jurnalisme kritis. “Membuat berita adalah hal mulia, bahkan jika itu mengandung kritik atau framing negatif. Tapi jika dilakukan dalam konteks pemufakatan jahat untuk merusak citra lembaga penegak hukum, itu jelas tidak bisa dibenarkan,” ujar Harli dalam konferensi pers pada Selasa (22/4/2025).

Namun, keputusan Kejagung menetapkan Tian sebagai tersangka menuai respons keras dari berbagai kalangan, termasuk para advokat dan organisasi pers. Mereka menilai tindakan ini dapat mengancam kebebasan pers dan menjadi preseden buruk bagi demokrasi.

Salah satu advokat senior, Ferdinand Simandjuntak, menyayangkan langkah hukum tersebut. Ia berpendapat bahwa Kejagung seharusnya menggunakan hak jawab jika merasa dirugikan oleh pemberitaan, bukan langsung menjerat jurnalis atau pimpinan media dengan pasal pidana.

“Kalau memang Kejagung tidak setuju dengan isi berita, mekanisme yang benar adalah menggunakan hak jawab atau mengajukan klarifikasi melalui Dewan Pers. Itu jalur konstitusional dan demokratis,” tegas Ferdinand.

Menurutnya, tindakan ini berpotensi menciptakan ketakutan di kalangan media dan bisa mematikan semangat jurnalistik investigatif yang justru dibutuhkan untuk mengawasi jalannya kekuasaan.

Pakar komunikasi politik, Dewi Anjani, juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kasus ini bisa menjadi alat tekanan terhadap media yang kritis. “Ketika media dituntut karena pemberitaan, maka batas antara kritik dan kriminalisasi menjadi kabur. Ini bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia,” jelasnya.

Di sisi lain, pihak Kejagung menegaskan bahwa penyidikan terhadap Tian bukan karena konten jurnalistik semata, melainkan dugaan adanya kerja sama terselubung yang bermuatan politis dan melibatkan aktor-aktor yang tengah berhadapan dengan hukum.

Meski demikian, banyak pihak menuntut agar Kejagung tetap menghormati prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers dalam menangani perkara ini. Mereka juga mendesak Dewan Pers untuk turun tangan dan melakukan investigasi terhadap pemberitaan JakTV guna menentukan apakah benar telah melanggar kode etik jurnalistik.

Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa hubungan antara media dan lembaga negara harus dijaga dengan prinsip transparansi dan saling menghormati. Di tengah era keterbukaan informasi, penguatan mekanisme penyelesaian sengketa pers menjadi sangat penting agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved