Sumber foto: Google

Bos 150 Buzzer Yang Sebarkan Narasi Negatif Soal Kajagung Dibayar Rp 864.5 Juta

Tanggal: 13 Mei 2025 23:32 wib.
Dalam beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan dengan isu mengenai pembiayaan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) yang diklaim melibatkan Adhiya, seorang ketua tim cyber army. Menurut penyelidikan, Adhiya menerima uang ini dari tersangka lain, yaitu advokat Marcella Santoso, untuk menggerakkan 150 buzzer yang telah direkrutnya. 

Adhiya, yang dikenal sebagai seorang tokoh dalam dunia digital, tidak hanya berfungsi sebagai penggerak tetapi juga pengatur strategi untuk menyebarkan narasi negatif terkait institusi pemerintah. Ratusan buzzer yang berada di bawah komandonya dikerahkan untuk memproduksi dan mendistribusikan konten negatif mengenai tiga perkara besar yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan Agung, yakni kasus dugaan korupsi PT Timah, kasus dugaan impor gula, dan kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO).

Berdasarkan pengakuan beberapa buzzer yang terlibat, mereka mengaku telah mendapatkan instruksi yang jelas dan terstruktur dari Adhiya. Instruksi ini termasuk jenis konten apa yang sebaiknya disebarkan, serta platform mana yang paling efektif untuk memperluas jangkauan informasi tersebut. Praktik ini tentu menciptakan atmosfer yang tidak sehat di tengah masyarakat, di mana informasi yang tidak akurat dan bersifat menyesatkan beredar luas.

Dengan adanya pembayaran sebesar Rp 864,5 juta, dapat dibayangkan betapa besar sumber daya yang dikeluarkan untuk menjalankan operasi ini. Adhiya tampaknya berperan kunci dalam proses ini, karena ia tidak hanya merekrut buzzer, tetapi juga mengawasi strategi penyebaran informasi yang berpotensi merusak reputasi institusi hukum. Upaya ini diprediksi merupakan bagian dari strategi untuk mendiskreditkan Kejaksaan Agung dalam penanganan perkara-perkara yang dapat merugikan kepentingan pihak tertentu.

Para buzzer yang direkrut Adhiya tidak hanya berasal dari latar belakang yang beragam tetapi juga memiliki pengaruh besar di media sosial. Ini membuat penyebaran konten negatif menjadi lebih efektif dan cepat, menjangkau audiens yang jauh lebih luas dalam waktu singkat. Dari informasi yang didapat, konten yang disebarkan berkisar pada penyerangan karakter terhadap pejabat-pejabat tertentu di Kejaksaan Agung, dan sebagian besar diwarnai dengan tuduhan yang tidak berdasar.

Penggunaan buzzer untuk menyebarkan informasi negatif menjadi sorotan publik, terutama di era di mana transparansi dan kejujuran informasi sangat dibutuhkan. Dengan metode ini, informasi dan opini bisa dengan mudah diputarbalikkan, sehingga mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap isu yang ada. Ini merupakan bentuk manipulasi opini publik yang perlu diwaspadai, karena dapat mengarah pada kesalahpahaman yang lebih besar di tingkat masyarakat.

Ketika pihak berwenang mulai menginvestigasi hubungan antara Adhiya dan Marcella Santoso, banyak yang berharap agar kasus ini dapat mengungkap praktik-praktik serupa di dunia digital. Jika tidak diatasi, penyebaran informasi negatif yang didorong oleh buzzer dapat terus membayangi proses hukum dan keadilan, serta merusak reputasi institusi penting yang berfungsi menjaga hukum dan keteraturan. 

Dengan skala biaya yang tinggi serta jangkauan dampak yang luas, fenomena buzzer yang dikelola Adhiya ini memperlihatkan betapa pentingnya kesadaran publik untuk mengidentifikasi informasi yang benar dan berimbang, agar tidak terjebak dalam narasi-narasi yang merugikan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved