Sumber foto: Google

Benarkah Media Sosial Menghancurkan Mental Remaja?

Tanggal: 26 Mei 2025 11:56 wib.
Awal 2010-an menjadi titik balik besar dalam hidup Generasi Z, terutama dalam konteks kesehatan mental. Dengan munculnya smartphone dan platform media sosial, interaksi sosial remaja kini tidak lagi terbatas pada lingkungan fisik mereka. Namun, menurut psikolog sosial Jonathan Haidt, era ini juga memicu apa yang ia sebut sebagai "surge of suffering" yang terlihat melalui lonjakan kecemasan, depresi, bahkan perilaku luka diri pada remaja di banyak negara.

Data statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ada peningkatan yang signifikan dalam masalah kesehatan mental di kalangan remaja. Di Amerika Serikat, survei menunjukkan angka kecemasan dan depresi di kalangan remaja meningkat hampir dua kali lipat sejak 2010. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang tua, pendidik, dan profesional kesehatan mental. Namun, penting untuk dicatat bahwa tren ini bukan hanya terjadi di AS. Banyak negara maju lainnya, seperti Inggris, Kanada, dan Australia, juga mencatat adanya peningkatan serupa dalam kasus kesehatan mental remaja.

Walaupun klaim Haidt tentang dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental ramai diperbincangkan, tidak semua psikolog sepakat. Beberapa di antara mereka menyangkal bahwa media sosial secara eksklusif merupakan penyebab utama krisis kesehatan mental di kalangan remaja. Dalam artikel-artikel yang ditujukan untuk keperluan Search Engine Optimization, mereka menunjukkan bahwa faktor-faktor lain, seperti tekanan akademis, dinamika keluarga, serta ketidakstabilan ekonomi, juga memainkan peran penting dalam kondisi kesehatan mental remaja. Dengan kata lain, masalah kesehatan mental adalah isu kompleks yang tidak bisa disederhanakan hanya dengan menyalahkan media sosial.

Meski ada kelompok psikolog yang membantah klaim Haid, sulit untuk mengabaikan kenyataan bahwa banyak remaja mengalami dampak negatif akibat penggunaan media sosial yang tidak terkendali. Paparan terhadap konten negatif, perbandingan sosial yang tidak sehat, dan cyberbullying dapat memperburuk kesehatan mental mereka. Tidak jarang remaja merasa terasing dan rendah diri setelah membandingkan diri mereka dengan kehidupan ideal yang ditampilkan oleh teman-teman atau influencer di media sosial.

Sementara beberapa negara mungkin tidak mengalami krisis kesehatan mental yang sama dengan negara-negara lain, ada kesepakatan di kalangan banyak pakar bahwa penggunaan media sosial tetap perlu dibatasi. Namun, bagaimana cara yang efektif untuk melakukannya? Setiap negara dan komunitas mungkin memiliki pendekatan yang berbeda berdasarkan kondisi sosial dan budaya mereka. Di beberapa negara skandinavia, contoh yang lebih positif dari penggunaan media sosial terlihat karena adanya pendekatan edukasi yang mengedepankan kesadaran akan risiko dan manfaat dari media sosial.

Di sisi lain, bagi banyak orang tua dan pendidik, adalah tantangan tersendiri untuk menemukan keseimbangan antara memanfaatkan teknologi dan menjaga kesehatan mental remaja. Mengawasi penggunaan media sosial tanpa membuat remaja merasa tertekan atau terbatasi merupakan tugas yang tidak mudah. Terlepas dari perdebatan yang ada, jelas bahwa media sosial memiliki potensi untuk menjadi pedang bermata dua; memberikan manfaat sekaligus menyebabkan masalah kesehatan mental.

Di tengah kontroversi ini, seiring dengan bertambahnya data dan penelitian, mungkin akan segera ada kesimpulan yang lebih jelas tentang peran media sosial dalam mental remaja. Yang pasti, apapun hasil penelitiannya, peran orang tua, pendidik, dan masyarakat dalam mendampingi remaja agar dapat menggunakan media sosial secara bijak sangatlah penting.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved