Asal Usul Tragis 'Hidung Belang': Cinta Terlarang di Batavia yang Berakhir di Tiang Eksekusi
Tanggal: 30 Jun 2025 10:10 wib.
Istilah “hidung belang” sering kali dilekatkan pada pria yang gemar berganti pasangan atau mempermainkan perempuan. Namun, siapa sangka, ungkapan ini sesungguhnya berakar dari kisah nyata yang tragis, terjadi pada masa kolonial Belanda di Batavia, dan bukan sekadar perumpamaan seperti istilah "besar tangan" atau "ringan kaki".
Asal usul ungkapan ini berkaitan langsung dengan sebuah peristiwa menyedihkan antara dua remaja yang terjebak dalam cinta terlarang di masa kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Hukuman yang mereka alami secara harfiah melibatkan wajah, khususnya hidung, yang sengaja dibuat belang sebagai simbol aib.
Cinta Terlarang di Kastil Batavia
Mengutip kisah yang ditulis Alwi Shahab dalam buku Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2017), peristiwa ini bermula di Kastil Batavia, benteng pertahanan utama VOC di Hindia Belanda. Di sana, seorang tentara muda bernama Pieter Cortenhoeff bertugas menjaga keamanan. Usianya baru 17 tahun, namun ia telah menarik perhatian banyak perempuan karena penampilan fisik yang gagah dan tampan.
Salah satu yang terpikat adalah Sara Speckx, seorang gadis 13 tahun yang memiliki darah campuran Belanda dan Jepang. Sara adalah putri dari Jacques Specx, seorang pejabat penting VOC, hasil hubungan di luar nikah dengan perempuan Jepang. Karena ayahnya sering bertugas ke luar kota, Sara tinggal di rumah Gubernur Jenderal J.P. Coen di Batavia.
Seringnya Sara mengunjungi Kastil Batavia membuatnya kerap bertemu dengan Pieter. Tatapan demi tatapan tumbuh menjadi rasa suka, lalu cinta yang diam-diam tumbuh subur. Sayangnya, di lingkungan istana saat itu, menjalin hubungan asmara sembarangan sangat dilarang. J.P. Coen sangat ketat dalam menegakkan disiplin, apalagi soal moralitas.
Ketika Cinta Mengalahkan Logika
Larangan keras dari Coen tak mampu memadamkan gairah cinta dua remaja ini. Pieter bahkan menyuap penjaga benteng agar bisa menyelinap ke kediaman J.P. Coen untuk menemui Sara secara rahasia pada malam hari. Aksi berbahaya ini dilakukan berulang kali, dengan hanya sedikit orang yang mengetahuinya.
Namun, rahasia tak bisa disimpan selamanya. Pada suatu malam, ketika mereka tengah bermesraan di kediaman Coen, aksi mereka tertangkap basah oleh petugas. Laporan segera disampaikan ke J.P. Coen, dan kabar skandal asmara ini langsung mengguncang Batavia.
J.P. Coen murka bukan main. Baginya, ini bukan sekadar pelanggaran disiplin, tapi juga penghinaan terhadap martabat pejabat tinggi karena anak dari koleganya menjalin hubungan dengan prajurit rendahan. Maka, tanpa panjang pertimbangan, dia menjatuhkan vonis kejam: hukuman mati melalui pemenggalan kepala.
Upaya Pengampunan yang Sia-Sia
Beberapa pendeta di Batavia mencoba mengajukan banding atas nama kemanusiaan. Mereka berargumen bahwa baik Pieter maupun Sara masih sangat muda, belum cukup matang secara emosional. Namun Coen menolak bulat-bulat. Keputusan telah dibuat dan harus ditegakkan demi menjaga wibawa dan ketertiban.
Hari eksekusi pun tiba. Pieter dan Sara diarak dari penjara menuju Balai Kota — kawasan yang kini dikenal sebagai Kota Tua Jakarta. Di sepanjang perjalanan, mereka dicambuk. Tubuh Sara dipermalukan dengan dilucuti pakaiannya. Sementara itu, wajah Pieter dicoret-coret dengan arang dan kapur, hingga terlihat belang.
Tindakan ini dimaksudkan sebagai tanda bahwa ia telah melakukan perbuatan asusila dan aib yang tak terampuni. Ketika akhirnya eksekusi dilakukan, teriakan histeris dan jeritan minta ampun terdengar dari kerumunan. Namun, tak ada yang bisa menghentikan pedang algojo yang kemudian memenggal kepala keduanya.
Menurut Achmad Sunjayadi dalam buku (Bukan) Tabu di Nusantara (2018), sesaat setelah kepala Pieter terjatuh ke tanah, orang-orang yang menonton spontan berteriak, “Hidung belang!” sebagai simbol hinaan terakhir.
Makna yang Berkembang dari Masa ke Masa
Sejak saat itu, istilah “hidung belang” menyebar luas dan mulai digunakan masyarakat sebagai sebutan bagi pria yang melanggar norma dalam hubungan asmara. Awalnya, istilah ini merujuk secara spesifik kepada mereka yang melakukan tindakan asusila atau hubungan terlarang.
Namun dalam perkembangannya, makna “hidung belang” menjadi lebih luas. Kini istilah ini dilekatkan pada pria yang gemar bergonta-ganti pasangan, mempermainkan perempuan, atau tidak setia dalam hubungan.
Cerita tragis Pieter dan Sara menjadi pelajaran sejarah yang menyimpan pesan mendalam. Cinta yang tak mendapat tempat dalam norma sosial dan kekuasaan bisa berujung pada hukuman kejam. Sekaligus, kisah ini membuktikan bahwa istilah populer yang kita gunakan hari ini kerap memiliki akar historis yang kelam dan penuh luka.
Kesimpulan
Istilah "hidung belang" bukanlah sekadar idiom modern tanpa arti. Di balik kata-kata itu tersimpan tragedi cinta dua remaja Batavia yang berakhir di tiang eksekusi. Kisah mereka adalah gambaran tentang kerasnya hukum moral di masa kolonial, dan bagaimana sejarah bisa hidup dalam bahasa yang kita gunakan sehari-hari